Munculnya pemberitaan tentang wacana akan diwajibkannya seluruh masyarakat menjadi peserta BPJS menurut saya harus disikapi secara serius oleh semua pihak, terlebih mereka yang saat ini berada dilingkaran kekuasaan dan penentu keputusan.
Jika BPJS diwajibkan terhadap perusahaan swasta, BUMN dan Instansi Pemerintah, maka tentu ini masih dapat kita terima secara logika dan akal sehat. Tetapi mewajibkan kepesertaan BPJS terhadap semua lapisan masyarakat dengan mengancam untuk tidak mendapatkan pelayanan publik seperti tidak bisa mengurus surat ijin mengemudi (SIM), STNK, tidak dapat melakukan pernikahan, naik haji dan seterusnya maka hal ini sudah menjadikan pemerintah layaknya kumpulan gerombolan si berat dalam komik Donald Bebeknya Walt Disney.
Tidak hanya zalim dan otoriter tetapi juga pemerintah sudah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk melakukan sesuatu hal yang membebani kehidupan perekonomian sehari-hari mereka. Sebuah wacana yang jauh dari akal sehat dan nilai-nilai kemanusiaan serta demokrasi yang konon diusung oleh negara Indonesia dalam banyak kampanyenya. Pemerintah sudah merampas --bahkan mungkin dapat disebut juga bertransformasi menjadi perampok-- keuangan rakyatnya dari seluruh lapisan strata sosial.
Pelayanan BPJS sendiri mestinya diperbaiki terlebih dahulu diberbagai bidang, sudah banyak kasus yang terjadi pada masyarakat terkait penggunaan BPJS ini yang terekspose ke media maupun tidak, mulai dari Rumah Sakit yang membuang pasiennya di Lampung dan lain sebagainya.
Isyu yang muncul dipublik sejak jaman pemerintahan SBY melalui Nafsiah Mboi pada Agustus 2014 ketika masih menjabat Menteri Kesehatan tentang ancaman kepailitan BPJS kiranya penting untuk dikaji ulang.
Apalagi faktanya juga ada ancaman Likudasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan pada Tahun 2014 itu justru terjadi akibat kecurangan Pemerintah yang hanya membayar Iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) hanya sebesar Rp. 230.700 per orang per tahun dari total Rp. 1.055.000 per orang pertahun rata-rata. Satu pernyataan jujur dari Direktur Keuangan PBJS Kesehatan sendiri pada awal April 2015 mengatakan setelah diaudit, lembaganya itu mengalami defisit Rp3,3 triliun pada 2014.
Jangan lantas karena masalah internal BPJS ini, lalu seluruh lapisan masyarakat dibebankan kewajiban untuk menanggungnya. Hal demikian sungguh menepati pepatah "lempar batu sembunyi tangan". Dia yang berbuat tapi orang lain yang kena getahnya. Maka mari pertanyakan lagi makna revolusi mental serta keberpihakan pada wong cilik yang selama ini menjadi jargon pemerintah serta partai yang berkuasa dinegeri tercinta kita hari ini.
Hukum Asuransi sendiri didunia Islam masih bersifat ikhtilafiyah alias masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Diantaranya ada yang memperbolehkan hukumnya namun ada pula yang sebaliknya. Sehingga tidak pada tempatnya apabila pemerintah mengeluarkan paksaan bagi semua warga negaranya untuk ikut dalam program asuransi tertentu, termasuk BPJS.
Jika pemerintah dengan lantang --ketika jelang bulan Ramadhan 1436H-- mengatakan bahwa orang yang berpuasa harus menghormati orang yang tidak puasa maka disini kiapun dapat mengatakan hal yang serupa, orang yang setuju dengan asuransi tolong hormati juga haknya orang yang tidak setuju terhadap asuransi apapun itu.
Lembaga tinggi negara seperti MPR dan DPR harusnya menjadi corong penyuara rakyat yang tegas dalam menolak kebijakan pemerintah yang dapat menimbulkan kesengsaraan ditengah rakyat. Kaum politikus lain juga jangan hanya berani bersuara dimedia saja dengan kritikan dan ulasan ilmiahnya.
Misalnya saja Pak Prabowo, Tommy Soeharto serta para politikus partai atau independen lain yang selama ini terlihat seakan garang dalam berkomentar. Jika memang pemerintah kita sekarang ini sudah sedemikian parahnya dalam berlaku otoriter kepada masyarakat --terkait masalah ekonomi, penjualan aset bangsa dan lain sebagainya-- maka pemakzulan mereka menjadi sebuah opsi penting untuk diambil kedalam langkah nyata.
Negara ini dengan idzin Allah tidak akan chaos bila pemerintahan dimakzulkan. Kita pernah mengalami kejadian sejenis pada pemerintahan Soekarno, Soeharto dan Gusdur, toh negara Indonesia tetap berdiri tegak tanpa masalah. Kami telah memilih wakil-wakil rakyat kami untuk duduk diparlemen, bukan justru untuk membuat kalian sebagai pengaminan perampokan harta dan hak kami sebagai rakyat, tapi kami meminta anda untuk menjadi wakil kami dalam menegakkan keadilan serta kesejahteraan hidup kami.
Ingatlah, jika semua orang waras selalu mengalah didunia ini maka orang gila sajalah yang akan menjadi penguasa atas orang waras.
Armansyah, Palembang.
Original posted:
https://www.facebook.com/armansyah/posts/10153366556268444.