Thursday, July 11, 2013

Rindu ikut puasa dan lebaran bersama Pemerintah (suara anak bangsa)

Oleh : Armansyah


Sebagai anak bangsa, saya tentu saja sangatlah ingin dan rindu untuk bersama-sama melakukan ibadah shaum dan lebaran bersama pemerintah selaku ulil amri. Ini bukan sebuah olok-olokan ataupun joke saja namun benar-benar tulus keluar dari hati saya yang paling dalam. Catatan ini dibuat dengan harapan kiranya suatu hari, disuatu masa, bisa terwujudkan.


Sebagaimana kita ketahui dan maklumi bersama, di Indonesia, tanah air yang tercinta, yang dibangun diatas darah, keringat, air mata serta perjuangan para pahlawan revolusi jaman dahulu (salah satunya termasuk almarhum ayah saya), hampir setiap tahunnya, pelaksanaan shaum atau puasa dan juga pelaksanaan lebaran, baik "iedul Fitri (hari raya 1 syawal) maupun 'iedul Adha (hari raya kurban) selalu saja menuai konflik.


Konflik dalam pengertian adanya perbedaan keputusan akhir pelaksanaan kedua ibadah tersebut diatas antara pihak pemerintah yang menggunakan metode rukyatul hilal dengan sejumlah organisasi masyarakat (ormas) ke-Islaman maupun sejumlah pribadi muslim yang menggunakan metode hisab, terutama hisab wujudul hilal.


Perbedaan ini semestinya memang bisa diminimalisir atau bahkan dihindari jika saja kita bisa membuka diri dan membuka pemahaman kita untuk mengarah pada perbaikan kualitas ibadah yang semakin sempurna dari waktu ke waktu. Tentunya tidak hanya habis dalam uraian kata saja, tetapi bisa di implementasikan secara nyata di kehidupan nyata beragama.


Pemerintah, ditinjau dari sisi konstitusi kenegaraan maupun konstitusi keagamaan berfungsi sebagai ulil amri atau otoritas yang harusnya menjadi ikutan rakyatnya, makmumnya, termasuk saya.


Namun saya, dengan amat sangat terpaksa, terpaksa sering bertindak diluar ketetapan pemerintah dalam hal pelaksanaan ibadah shaum dan lebaran atas beberapa dasar dan argumentasi yang akan saya jelaskan dibawah ini.



Sebelumnya, saya tegaskan bahwa sebagai seorang muslim, saya paham betul tentang arti ulil amri dan fungsinya menurut arahan al-Qur'an al-Karim dan juga tuntunan as-Sunnah an-Nabawiyah terlebih dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah shaum dan lebaran, diantaranya: 



Sunan Tirmidzi 633: Telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Al Mundzir telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ja'far bin Muhammad telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ja'far dari 'Utsman bin Muhammad Al Akhnasi dari Sa'id Al Maqburi dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda: " Berpuasa itu pada hari kalian berpuasa dan berbuka itu pada hari dimana kalian semua berbuka, demikian juga dengan Iedul Adlha, yaitu pada hari kalian semuanya berkurban." Abu 'Isa berkata, ini merupakan hadits hasan gharib, sebagian ulama menafsirkan hadits ini yaitu, Sesungguhnya shaum dan berbuka itu bersama jama'ah dan kebanyakan manusia.

Sunan Abu Daud 1979: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Ubaid, telah menceritakan kepada kami Hammad dalam hadits Ayyub dari Muhammad bin Al Munkadir dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan padanya, beliau berkata: "Dan Fithri kalian adalah hari kalian berbuka, adlha kalian adalah hari kalian menyembelih, dan seluruh 'Arafah adalah tempat berwukuf, seluruh Mina adalah tempat menyembelih, dan seluruh jalan Mekkah adalah tempat untuk menyembelih dan seluruh Muzdalifah adalah tempat wukuf."

Akan tetapi sayangnya, hadis-hadis semacam ini sering disalah gunakan oleh pihak yang menjadi pelaku otoritas atas makmumnya. Setidaknya demikian yang saya pandang sejauh ini. Agama sering dipolitisir sehingga sesuai dengan keinginan sepihak sang ulil amri sendiri tanpa kemudian mempertimbangkan nash-nash keagamaan lain terkait.


Setiap kali menjelang shaum Ramadhan, menjelang Lebaran Fitri ataupun 'Iedul Adha, pemerintah cq kementrian Agamanya biasanya melakukan sidang itsbat. Sebuah sidang dengan kumpulan berbagai ormas kemasyarakatan yang berguna untuk memutuskan kapan saatnya berpuasa dan kapan pula waktunya berhari raya.


Diberbagai media televisi, biasanya kita melihat mulailah orang-orang saling sibuk mendaki tempat-tempat tinggi seperti pegunungan, perbukitan maupun gedung-gedung perkantoran pencakar langit untuk membuktikan penampakan bulan secara fisik. Tidak kurang pula sejumlah pos-pos pengamatan didirikan  disejumlah titik diseantaro negeri dan melibatkan juga teknologi-teknologi modern seperti teleskop untuk mencapai penglihatan mereka tersebut.


Tidak jarang hasil yang diputuskan didalam sidang itsbat ini menuai kontroversi dari sesama peserta sidang it’sbat itu sendiri, umumnya lagi kontroversi yang terjadi justru karena pada dasarnya sejumlah laporan dari pos-pos pengamatan hilal tertentu menyatakan telah melihat penampakan bulan sementara disebagian lainnya lagi masih menyatakan tidak melihatnya atau juga telah melihat namun masih kurang jelas karena ketinggian atau juga derajat bulan yang masih berada dibawah ufuk yang selanjutnya ditentukan dengan nilai dibawah 2 derajat.


Menyikapi perbedaan seperti ini, pemerintah biasanya akan mengambil keputusan menggenapkan hari Ramadhan menjadi 30 hari yang secara tidak langsung telah membatalkan adanya laporan atau kesaksian orang-orang yang melihat tampaknya bulan secara fisik. Inilah yang kemudian menjadi pemicu dari timbulnya perbedaan awal ‘Iedul fitri atau 1 syawal antara pemerintah disatu sisi dengan sekelompok organisasi massa tertentu disisi yang lainnya. 


Namun umumnya bagi pemerintah Republik Indonesia, khususnya pihak Departemen Agama, keputusan mereka ini dianggap sebagai keputusan yang mutlak dan berlaku atau juga mengikat bagi semua lapisan masyarakat Muslim yang ada dibawah negara kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi bagi orang-orang maupun organisasi massa yang berseberangan dengan pemerintah, tidak kalah vokalnya menyatakan bahwa keputusan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan mereka (atau dengan nash yang mereka pahami) tidak bisa dengan sendirinya membuat keterikatan bagi setiap Muslim dalam menjalankan keyakinannya terhadap apa yang mereka anggap lebih benar dari keputusan tersebut.


Pro dan kontra semacam ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Muslim di Indonesia setiap tahun, sehingga tidak jarang membuat jarak antara seorang Muslim dengan Muslim yang lainnya. Bagi orang awam, perbedaan tersebut sangat membingungkan mereka, orang yang hatinya lebih banyak untuk malas berpuasa biasanya akan condong pula mengikuti pemahaman mereka yang lebih dahulu berhari raya sementara sebagian lagi diantara mereka yang fanatik akan mencondongkan diri mereka kepihak yang berpaham 30 hari. Kedua tipikal manusia seperti ini adalah contoh dari manusia-manusia muslim yang lalai dari ketentuan nash agamanya sendiri yang mewajibkan mereka berilmu pengetahuan dibidang akidah.


Kita harusnya belajar dengan apa yang sempat terjadi pada tahun 2005 dan tahun 2007 lalu, dimana waktu itu terjadi kegelisahan yang hebat ditengah umat Islam seluruh dunia menyangkut penentuan hari Idul Adha. Pada 2005, Kerajaan Arab Saudi mengumumkan hari bahwa hari Arafah (9 Zulhijjah) jatuh pada Kamis, 20 Januari 2005. Sehingga hari Idul Adha (yaitu 10 Zulhijjah) jatuh pada hari Jumat tanggal 21 Januari 2005.  Ini didasarkan pada laporan bahwa pada tanggal 10 Januari 2005 sore harinya tidak terlihat adanya hilal sehingga bulan Dzulqaidah dibulatkan menjadi 30 hari, dan tanggal 1 Zulhijjah jatuh pada tanggal 12 Januari 2005. Pada tanggal 14 Januari 2005, Kerajaan Arab Saudi meralat keputusannya tersebut dan menetapkan bahwa hari Arafah jatuh pada hari Rabu tanggal 19 Januari 2005. Artinya hari Idul Adha jatuh pada hari Kamis, 20 Januari 2005. Perubahan ini dikarenakan adanya laporan bahwa ada 2 orang saksi yang melihat hilal pada tanggal 10 Januari 2005. 


Kejadian ini berulang ditahun 2007. Sebelumnya pihak kerajaan Arab Saudi juga menyepakati bila hari Kamis, tanggal 20 Desember 2007 adalah tanggal 10 Dzulhijjah 1428 H. Akan tetapi kemudian pihak kerajaan melalui Majelis al-Qadha al-A’la (MQA), mengumumkan bila awal bulan Dzulhijjah tahun 2007 jatuh pada hari Senin sehingga Wuquf di Arafah adalah hari Selasa tanggal 18 Desember tahun 2007 dan Idul Adha jatuh pada hari Rabu tanggal 19 Desember 2007.


Konsekwensi dari perubahan tersebut -–seperti yang telah kita kemukakan-- menjadi polemik bagi umat Islam lain diluar Arab Saudi. Sebab secara syariat, ketika jemaah haji menunaikan wukufnya di Arafah, maka umat Islam yang tidak menunaikan haji dianjurkan melakukan puasa sunnah. Bila tanggal 18 Desember 2007 di Arab Saudi adalah hari wuquf, maka logikanya orang-orang yang tinggal diluar wilayah Arab Saudi –termasuk di Indonesia—juga harus berpuasa pada tanggal tersebut padahal mereka secara kalendar maupun ketetapan pemerintahnya masing-masing, baru ber-idul adha lusanya atau tanggal 20 Desember 2007. Bila mereka puasa diharinya jemaah haji berwuquf di Arafah (tanggal 18 Desember) maka harusnya besok hari tanggal 19 Desember merekapun berlebaran Idul Adha, tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Disini seolah terjadi penentangan terhadap sunnah yang sudah ditetapkan oleh Nabi Muhammad Saw.




“Puasa itu bagi orang yang bersenang-senang dengan umrah sampai datangnya waktu haji, sampai hari Arafah.” (HR. Bukhari dari Aisyah dan Ibnu Umar)


Dari Abu Qatadah, ia berkata : Rasulullah Saw bersabda, “Puasa Arafah dapat menghapus dosa selama dua tahun. Tahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi). 



Untuk memecahkan masalah tersebut, akhirnya keluarlah sejumlah fatwa-fatwa dari ulama-ulama dunia, yang salah satunya akan kita tampilkan disini dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin. Untuk fatwa lainnya bisa dilihat pada lampiran yang ada pada buku ini. Adapun fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin tersebut sebagai berikut :





Perkara ini dibangun di atas ikhtilaf para ulama, apakah hilal itu satu saja untuk seluruh dunia atau berbeda sesuai mathla’nya (tempat terbit bulan). Dan yang benar bahwa penampakan hilal berbeda sesuai dengan perbedaan mathla’. Sebagai misal, apabila hilal telah nampak di Kota Mekkah, dan sekarang adalah hari ke sembilan (di Mekkah), hilal juga terlihat di negeri yang lain satu hari lebih cepat daripada Mekkah sehingga hari Arafah (di Mekkah) adalah hari kesepuluh bagi mereka. Maka mereka tidak boleh berpuasa karena hari tersebut adalah hari raya Idul Adha.


Demikian pula sebaliknya, jika di suatu negeri rukyatnya lebih lambat daripada Mekkah maka tanggal sembilan di Mekkah merupakan tanggal delapan bagi mereka. Maka mereka berpuasa pada hari ke sembilan (menurut negeri mereka) bersamaan dengan tanggal sepuluh di Mekkah. Ini merupakan pendapat yang kuat”.



Di Indonesia sendiri terjadi beberapa perselisihan dalam penyikapan atas perbedaan waktu Arab Saudi dan Indonesia khususnya yang berkaitan dengan penentuan waktu untuk pelaksanaan wuquf, puasa Arafah serta Idul Adha. Ada pihak yang memandang bahwa Wuquf dan Idul Adha itu bersifat universal dengan kata lain harus mengikuti ketentuan yang sudah diatur oleh Pemerintahan Kerajaan Arab Saudi. Bila hari wuquf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah itu jatuh tanggal 18 Desember, maka praktis tanggal 19 Desembernya di Indonesia harus tanggal 10 Dzulhijjah –walaupun tanggal 18 Desember di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijjah-. Patokan kelompok ini adalah satu hari setelah wuquf di Arafah adalah Idul Adha.


Kekacauan konsepsi ini bisa kita lihat dengan satu perumpamaan sederhana. Misalnya tanggal 1 Zulhijjah di Indonesia dan di Malaysia serta diberbagai negara lain didunia sejak awal berbeda dengan tanggal 1 Zulhijjah di Arab Saudi (karena perbedaan posisi bulan di masing-masing negara tersebut). Namun ketika hari wuquf dan Idul Adha tiba, secara frontal kitapun harus menyamakan penanggalan kita dengan Arab Saudi. Hasil akhir dari sikap ini sistem kalendar justru menjadi sistem yang membingungkan. Untuk 11 bulan lainnya mereka ikut peredaran bulan di lokasi masing-masing, tapi khusus  bulan Zulhijjah mereka ikut kalendar Arab Saudi. Lompatan penanggalan dari tanggal 28 Dzulqaidah menuju tanggal 1 Dzulhijjah hanya untuk memaksakan diri mengikuti Arab Saudi semacam ini jelas menyelisihi kebenaran.


Berikut ada sebuah rekaman video yang saya buat sendiri berkait dengan salah satu kasus kesaksian hilal yang para saksinya telah disumpah namun ditolak oleh Departemen Agama :







Nah, inilah salah satunya yang membuat saya terpaksa untuk tidak bisa sepakat dengan pemerintah dalam kapasitasnya selaku ulil amri. Saya melihat kasus-kasus ini sebagai bentuk ke-egoisan pemerintah dalam memaksakan kehendaknya pada para makmumnya, ya, anak bangsa seperti kita ini. 


Bukan untuk menafikan peranan pemerintah selaku ulil amri, namun jika sudah seperti ini, maka saya lebih menjunjung tinggi firman Allah diatas segalanya. Termasuk perkataan atau ketetapan pemerintah itu sendiri.



Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS AL-Israa (17) :36)

Islam bukanlah agama ikut-ikutan, agama yang tersentralisasi pada satu otorita tertentu sebagaimana terdapat dalam sistem kepausan di Kristen Gereja Katolik. 


Iman adalah masalah pokok dan paling dasar dalam agama Islam. Bagi peradaban Islam, keimanan ibarat tiang-tiang pondasi bangunan. Karena itu, hal yang fundamen ini tidak boleh diputuskan tanpa proses berpikir  yang jernih. Kita mesti mempertimbangkan mana yang layak diimani dan mana yang mesti ditolak. Dengan kata lain, apakah suatu hal itu secara akal bisa dibenarkan atau tidak, khususnya dalam perkara-perkara yang bisa dan mungkin dijangkau oleh akal. Sebab jika salah dalam menentukan keputusan tentang hal ini, berarti hal lain yang terlahir dari keyakinan tersebut juga salah. Oleh sebab itu, keimanan dalam Islam harus dicapai dengan pemikiran yang jernih (fikrul-mustanir), dengan memperhatikan segala aspek yang bisa kita saksikan (baik alam semesta, manusia maupun kehidupan) secara menyeluruh dan mendalam.


Sehingga keputusannyapun merupakan keputusan yang jernih. Disamping itu, jika masalah keimanan, yang asasi ini, diraih tanpa pemikiran yang jernih, keyakinan yang diperoleh pun merupakan keyakinan yang goyah dan lemah, sehingga mudah terombang-ambing serta tidak akan berbekas dan memotivasi kita untuk berbuat dalam kehidupan.


Akal memang bukan sesuatu yang mutlak sempurna, akal sendiri baru dapat berfungsi setelah menjalani proses-proses dalam tahapan kehidupan anak manusia (lihat surah 4 ayat 5) dan ini artinya akal bergantung kepada sesuatu yang lain diluar dirinya sendiri, disitulah posisi akal sebagai salah satu makhluk Allah. Akal sama dengan manusianya itu sendiri yang menjalani berbagai proses dalam tahapan perkembangannya sampai menjadi manusia sempurna (bayi-batita-balita-anak-anak-remaja-dewasa dan bisa berkarya).


Jika manusia adalah ciptaan Allah, jika manusia adalah makhluk, maka semua yang ada didiri manusia juga adalah bagian dari kemakhlukan dan bagian dari penciptaan. Diciptakan Allah pendengaran dan penglihatan (surah al-Insaan ayat 2) disebutkan sebagai sarana bagi manusia dalam memahami ilmu-Nya Allah (perintah maupun larangan), kedua panca indera itu tidak bisa difungsikan bila akal tidak berjalan, karena orang gila yang punya panca indera lengkap terbukti tidak mampu berpikir atau memahami kehidupan dengan baik, akhirnya manusia adalah ciptaan sebaik-baiknya dari Allah yang itupun tidak sekompleks penciptaan langit dan bumi. 


Saya bukan orang yang mendewakan akal ataupun pemujanya, tetapi saya juga bukan tipe orang yang menerima apapun tanpa terlebih dahulu perlu berpikir alias harus bersikap dogmatis. Keberadaan ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat didalam al-Qur’an, juga adalah bukti bahwa al-Qur’anpun menghendaki kita berpikir jernih dalam mencerna ayat-ayatNya, tidak harus segalanya tercantum dengan jelas dalam al-Qur’an atau bahkan dalam sunnah Rasul-Nya sebab telah sampai kepada kita akan adanya satu riwayat mashur tentang pengutusan salah satu sahabat kesebuah negeri dimana Rasul pernah bertanya yang kurang lebih : bila engkau tidak mendapati satu masalah didalam kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, maka dengan apa engkau memutuskan ? maka disebutkan bahwa aku akan berijtihad. Dan pernyataan tersebut disepakati oleh Rasul Saw.; Ijtihad yang tentunya kitapun harus sepakat, tetap berlandaskan kitabullah sebagai acuan utama.


Firman Allah :



Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. AL-Ahzaab (33) :36)

Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan jangan engkau berpaling darinya padahal kamu mengetahuinya. (QS AL-Anfaal (8) : 20)

Islam telah menetapkan, untuk memeluk agama ini amat bergantung pada pengakuan terhadap keimanan yang benar-benar muncul dari proses berpikir yang jernih. Inilah karakter khas dari keimanan dalam Islam. Siapa pun yang memiliki akal akan mampu membuktikan–hanya melalui keberadaan benda-benda yang dapat di inderanya–bahwa dibalik benda-benda tadi pasti terdapat Sang Pencipta (al-Khaliq) yang telah menciptakan seluruh benda-benda tadi beserta aturan-aturan yang menakjubkan tidak terkecuali akal itu sendiri. Ayat-ayat tekstual didalam al-Qur’an pada hakekatnya merupakan ajakan untuk melihat dan memperhatikan benda-benda yang ada disekeliling manusia. Ajakan ini hendaknya dijadikan petunjuk akan adanya Al-Khaliq, sehingga keimanan kita didasarkan pada bukti dan dalil; iman yang mantap yang tidak akan tergoyahkan oleh siapa pun dan oleh sebab apa pun.


Sebagian ulama lokal maupun yang berasal dari Timur Tengah mencoba mengajukan dalil-dalil yang dalam pandangan mereka rojih serta shahih agar umat Islam secara keseluruhan menyepakati apa-apa yang menjadi ketetapan maupun keputusan pemerintah dimana mereka berdomisili. Salah satu diantara mereka adalah Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz yang bahkan berpendapat sekalipun pemerintah dimana umat Islam tersebut berada, menetapkan berpuasa sampai 31 hari lamanya.


Rujukan lihat artikel : Sering Terjadi Perselisihan Awal Ramadhan, Hari Raya Iedul Fithri Dan Iedul Adha, Bagaimana Cara Menyatukan Hari Raya Kaum Muslimin ?, Oleh: Lajnah Da'imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta, sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/1652/slash/0


Sejumlah dasar yang diajukan mereka diantaranya :



 Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

 Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: "Seseorang (hendaknya) berpuasa bersama penguasa dan jamaah umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung." Beliau juga berkata: "Tangan Allah Swt bersama Al-Jama'ah." (Majmu' Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25, hal. 117)

 "Akan ada sepeninggalku nanti para penguasa yang mereka itu tidak  berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti caraku. Dan akan ada diantara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia." Hudzaifah berkata: "Apa yang kuperbuat bila  aku mendapatinya?" Rasulullah Saw bersabda: "Hendaknya engkau mendengar dan mentaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah dan taatilah." (HR. Muslim dari Hudzaifah bin Al-Yaman).



Kita bisa melakukan introspeksi diri kita sendiri dari hadis-hadis tersebut, apakah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sudah melanggar ataukah memang sudah benar dalam mengikuti ketetapan Nabi Muhammad Saw mengenai hal ini. Dari sini kita bisa pula mengoreksi tentang sikap kita yang mengaminkan atau juga melakukan pembangkangan pada keputusan pemerintah (serta ulama-ulama yang menyarankan untuk mengikutinya).




"Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian." Lalu dikatakan kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?" Beliau bersabda: "Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan meninggalkan ketaatan." (HR. Muslim dari `Auf bin Malik)


Ibnu Umar berkata: Dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Kewajiban seorang muslim adalah mendengar dan taat dalam melakukan perintah yang disukai ataupun yang tidak disukai, kecuali bila diperintahkan melakukan maksiat. Bila dia diperintah melakukan maksiat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengar serta taat” (HR. Muslim)


Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul serta ulil amri di antara kamu. (QS. An-Nisa (4) :59)

Dalam hal ini, saya memiliki pendapat yang agak berbeda yang juga memiliki dasar pemikiran dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Bahwa perbedaan yang dimaksudkan oleh Rasul pada hadis-hadis beliau tersebut dalam perspektif penulis bukanlah perbedaan yang menyangkut hukum-hukum keagamaan yang sudah jelas dasar serta patokannya. Tidak ada siapapun yang berhak untuk mengubah kaidah yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam urusan keagamaan. Sementara kita tahu masalah berlebaran atau beridul Adha memiliki persinggungan dengan nash-nash hukum yang sudah jelas.


Sabda Nabi Muhammad Saw : 



Dari Anas, bahwa Nabi Saw melarang puasa lima hari dalam setahun, yaitu : hari raya fithri, hari raya adha dan tiga hari tasryiq. (HR. Daraquthni)

Dari Abu said dari Rasulullah Saw, bahwa ia melarang puasa dua hari, yaitu pada hari raya fithri dan hari raya adha. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Dalam satu lafal bagi Ahmad dan Bukhari dikatakan : Tidak boleh puasa pada dua hari. Sementara bagi Imam Muslim dikatakan : Tidak sah puasa pada dua hari.

Dari hadis-hadis diatas maka bisa kita pahami bahwa bila sudah masuk hari idul fithri maupun adha kita sudah dilarang untuk melakukan ibadah puasa, artinya kita harus segera menyegerakan diri untuk berlebaran. Manakala misalnya kita mengikuti suatu ketetapan yang mengharuskan berlebaran esok hari padahal kita sudah tahu hari ini harusnya kita sudah berhari raya maka kita telah melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya.


Firman Allah :




Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. AL-Ahzaab (33) :36)


Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan jangan engkau berpaling darinya padahal kamu mengetahuinya. (QS AL-Anfaal (8) : 20)


Maka apabila aku perintahkan kamu dengan sesuatu, hendaklah kamu mengerjakan darinya sesanggup kamu. Dan apabila aku mencegah kamu dari sesuatu maka kamu jauhilah dia. (HR. Muslim dan Nasa’I dari Abu Hurairah)



Pada praktek dilapangan, jika kita mau meninjau kasus di sidang itsbat, seringkali kesaksian-kesaksian individu yang telah melaporkan melihat adanya penampakan hilal tersebut ditolak oleh pihak yang berkuasa (baca: ulil amri atau pemerintah) hanya karena dalam kalendar yang berlaku dan sudah terlanjur beredar dimasyarakat tertulis hari raya baru jatuh pada hari lusa dan bukan esok hari. Kita tidak akan membahas mengenai pengaruh adanya perubahan kebijakan pemerintah terhadap kondisi politik serta perekonomian negara, karena memang ketetapan agama harusnya dinomor satukan dari semua kepentingan yang ada.


Kuat sekali nuansa politisnya terasa disini, termasuk adanya kecenderungan sekelompok orang atau pihak tertentu yang memaksakan pemahamannya dibidang rukyatul hilal. Sehingga saya pribadi menyebut sidang Itsbat itu dengan istilah sidang rukyat, yaitu sidangnya para penganut rukyatul hilal. 


Tapi sejenak mari kita abaikan dulu konsep para perukyatul hilal, mari kita lihat dulu bentuk pengabaian pelaporan para saksi hilal itu sendiri. Jelas dalam hal ini, pemerintah dan para ulama yang ikut berkolaborasi mengabaikannya, sudah menyimpang dari ketentuan nash agama, bila kita memang ingin mengadu antar nash yang shahih. Pernahkah dalam sejarah, Rasulullah SAW menolak kesaksian seperti ini? 




Sunan Darimi 1629: Telah menceritakan kepada kami Marwan bin Muhammad dari Abdullah bin Wahb dari Yahya bin Salim dari Abu Bakr bin Nafi' dari Ayahnya dari Ibnu Umar ia berkata, "Orang-orang saling melihat hilal, kemudian aku memberitahukan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa aku telah melihatnya, kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa."


Sunan Nasa'i 2086: Telah mengabarkan kepada kami Musa bin 'Abdurrahman dia berkata; telah menceritakan kepada kami Husain dari Zaidah dari Simak dari 'Ikrimah dari Ibnu 'Abbas dia berkata; "Seorang Badui datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ia berkata aku telah melihat hilal malam ini, beliau bersabda: 'Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan yang patut disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusanNya? ' ia menjawab iya, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Wahai Bilal! Umumkanlah kepada manusia bahwa besok berpuasa." Telah mengabarkan Ahmad bin Sulaiman dari Abu Daud dari Sufyan dari Simak dari Ikrimah secara mursal. Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Hatim bin Nu'aim Mishishi dia berkata; Telah memberitakan kepada kami Hibban bin Musa Al Marwazi dia berkata; Telah memberitakan kepada kami Abdullah dari Sufyan dari Simak dari Ikrimah secara mursal.




Tentu kita maklum bahwa waktu berhari raya atau berpuasa hanyalah akibat dari suatu sebab yang ada sebelumnya. Adapun penyebab perbedaan yang terjadi sehingga menimbulkan kecenderungan untuk terjadinya pelanggaran atas nash-nash yang terkait seputar hari raya akan kembali lagi pada metode penentuan berbulan baru.




Dari Umar, ia berkata : Orang-orang pada melihat bulan, lalu aku memberitahu Rasulullah Saw bahwa akupun melihatnya. Lalu ia berpuasa dan menyuruh orang-orang supaya berpuasa. (HR. Abu Daud dan Daraquthni. Tetapi Daraquthni berkata : Marwan bin Muhammad menyendiri dengan hadis ini dari Abu Wahab, sedang dia adalah kepercayaan).


Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata : Ada seorang Badui datang ketempat Nabi Saw, lalu ia mengatakan : Sungguh aku melihat bulan. Kemudian Nabi bertanya : “Apakah engkau percaya bahwa Tiada Tuhan selain Allah ?” Ia menjawab : “Ya”. Lalu Nabi bertanya lagi : “Apakah engkau juga percaya, bahwa sesungguhnya Muhammad utusan Allah ?” Ia menjawab : “Ya”. Lalu Nabi menyuruh Bilal : “Hai Bilal, beritahukanlah kepada manusia, supaya mereka besok berpuasa”. (HR. Imam yang lima, kecuali Ahmad).


Dan Abu Daud meriwayatkan juga dari hadis Hammad bin Salamah dari Simaak dari Ikrimah secara mursal (tanpa menyebut nama sahabat), semakna dengan itu, dan ia berkata : Lalu Nabi menyuruh Bilal, kemudian Bilal menyeru pada manusia : “Hendaklah mereka sholat tarawih dan berpuasa”


Dari Rib’I bin Hirasy, dari seorang laki-laki dari sahabat Nabi, ia berkata : Orang-orang berselisih tentang akhir Ramadhan, lalu datanglah dua orang Badui kemudian mereka bersumpah dihadapan Nabi Saw bahwa bulan Syawal telah nampak kemarin sore, lalu Rasulullah Saw menyuruh orang-orang agar berhari raya fithri. (HR. Ahmad dan Abu Daud)


Dari Abdurrahman bin Zaid bin Khattab, sesungguhnya dia berkhutbah pada hari yang ia ragu-ragu padanya sebagai berikut : Ketahuilah, bahwa aku adalah berkawan dengan sahabat-sahabat Rasulullah Saw dan pernah bertanya kepada mereka, lalu merekapun menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda sebagai berikut : “Berpuasalah kalian karena melihat bulan dan berhari rayalah kalian karena melihat bulan, dan beribadahlah kalian karena melihat bulan. Kemudian jika bulan itu terdinding awan maka genapkanlah tiga puluh hari. Tetapi jika ada dua saksi muslim yang melihatnya maka berpuasalah kalian dan berhari rayalah”. (HR. Ahmad dan Nasa’i, tetapi Nasa’I tidak menyebutkan kata-kata “muslim” pada teks “dua saksi”).


Dari Amir Mekkah, Al-Harits bin Hathib, ia berkata : Rasulullah Saw memerintahkan kita supaya beribadah karena melihat bulan. Tetapi jika kita tidak melihatnya sedang ada dua orang saksi adil yang menyaksikan bulan tersebut, maka kita pun beribadah lantaran kesaksian dua saksi tersebut. (HR. Abu Daud dan Daraquthni, Daraquthni berkata sanadnya bersambung dan shahih).



Syarah dari kitab Nailul Authar menjelaskan bahwa dua hadis yang menyebutkan “manusia melihat bulan” menunjukkan kesaksian seseorang atas datangnya hilal Ramadhan bisa diterima. Inilah pendapatnya Ibnu Mubarak, Ahmad bin Hambal serta Imam Syafe’I dalam salah satu dari dua pendapatnya. Imam Nawawi sendiri berkata : “Itulah pendapat yang lebih benar.” Akan halnya pendapat dari Imam Malik serta sejumlah Imam sunan lainnya bahwa kesaksian seseorang tidak dapat diterima kecuali dua orang adalah mengandung pengertian tidak diterimanya seorang saksi karena semata-mata paham dari apa yang tersirat, sedang yang tersurat dalam hadis tersebut adalah diterimanya seorang saksi.




Sekali lagi bila kita mengabaikan perselisihan tentang jumlah satu atau dua orang saksi yang melihat hilal dimalam dua puluh sembilan, maka adanya kesaksian untuk itu secara nash keagamaan sudah memenuhi syarat untuk menentukan awal bulan yang baru. Bila kemudian pemerintah mengabaikan kesaksian tersebut dan bersikukuh dengan pendapatnya bahwa umat baru boleh berhari raya pada lusa harinya, berarti pemerintah sudah berseberangan dengan nash-nash hukum keagamaan.


Sebagai seorang muslim, maka kita juga sudah memiliki tuntunan dari Rasul yang sebelumnya dijadikan hujjah dari kelompok pertama, “Kewajiban seorang muslim adalah mendengar dan taat dalam melakukan perintah yang disukai ataupun yang tidak disukai, kecuali bila diperintahkan melakukan maksiat. Bila dia diperintah melakukan maksiat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengar serta taat” (HR. Muslim)



Maksiat yang kita coba kaitkan disini adalah mengajak kepada jalan selain jalan Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Imam Ali bin Abi Thalib, “Tidak ada ketaatan kepada seorang makhluk yang dapat dibenarkan jika hal itu berupa perbuatan maksiat terhadap al-Khaliq” (sumber: Mutiara Nahjul Balaghah, Muhammad Al-Baqir, Penerbit Mizan, 1999, Hal. 130)


Persatuan umat bukan menjadi alasan untuk mengabaikan nash-nash agama yang telah pasti kecuali bila memang untuk melakukannya dibatasi oleh situasi dan kondisi (misalnya seperti dalam masa Orde Baru). Adapun makna dari Ulil Amri pada surah an-Nisa ayat 59, memang oleh mayoritas ulama dinyatakan sebagai pemerintah yang berkuasa. Ahli Mufassir terkemuka bernama Imam Fakhruddin Razi yang menulis kitab “Mafatihul Gaib” (w. 1228 M) mengartikan Ulil Amri sebagai Ahli Ijmak (orang-orang yang kesepakatannya menjadi hukum yang harus ditaati). Imam Naisaburi serta Muhammad Abduh memahaminya sebagai Ahli Halli wal’aqdi (orang-orang yang mempunyai hak kekuasaan untuk membuka dan mengikat yang setiap keputusannya mengikat seluruh negara dan wajib ditaati oleh seluruh umat)




Apapun defenisi yang diberikan untuk istilah Ulil Amri tersebut, penulis disini ingin menekankan bila cara kerja Ulil Amri yang terdapat dalam surah An-Nisa ayat 59 harusnya juga mengacu pada lanjutan ayat tersebut, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama dan lebih baik akibatnya”. Sabda Nabi Saw pula, “Hendaklah kamu mengikuti dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk dimasa setelah aku”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).



Jadi kita tetap punya parameter yang tegas bahwa kepatuhan pada penguasa adalah selama mereka juga mengembalikan pengaturan hak rakyatnya yang muslim kepada tuntunan Allah dan Rasul. Al-Qur’an disisi lain memberikan petunjuk bila jumlah orang tidaklah menentukan nilai kebenaran yang mereka serukan (suara mayoritas tidak selalu berarti suara kebenaran) :

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS Al-An'am (6) :116)

Adapun makna Al-Jama’ah dimana menurut Imam Ahmad bin Hanbal dengan perkataannya "Tangan Allah Swt bersama Al-Jama'ah", secara lughat berarti kumpulan, himpunan atau persatuan. Salah seorang sahabat Nabi bernama Ibnu Mas’ud diriwayatkan pernah berkata kepada Amr bin Maimun : “Al-Jama’ah adalah apa-apa yang bersesuaian dengan kebenaran walaupun engkau sendirian”. Dikesempatan lain, beliau juga berkata, “Jama’ah itu adalah apa-apa yang bersesuaian dengan ketaatan pada Allah Azza Wajalla” (lihat: H. Moenawar Chalil, Kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, Penerbit Bulan Bintang, 1969 hal. 395)

Imam Alipun diriwayatkan berkata, “Jama’ah itu, demi Allah, adalah kumpulan orang-orang ahli kebenaran walaupun mereka itu sedikit” (Rujukan: Idem, hal. 396

Jadi al-Jama’ah itu bisa dimaknai sebagai kebersatuan dengan nilai-nilai kebenaran. Dalam hal ini adalah kumpulan satu atau lebih orang yang taat pada Allah. Sesuai firman Allah :
Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak memperingatkanmu pada satu hal, yaitu supaya kamu menghadap Allah berdua-dua atau sendiri-sendiri". (QS. Saba (34) :46)

Nabi Muhammad Saw disinyalir telah bersabda dalam satu hadis dengan status dhaif (lemah), “Sesungguhnya umatku tidak berkumpul diatas kesesatan. Maka dari itu bila kamu melihat perselisihan maka hendaklah kamu Sawadul-A’zham”. (HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik, kedhaifan hadis ini disebabkan salah satu perawinya bernama Hazim bin ‘Atha yang dianggap lemah oleh sebagian ahli hadis, sebagaimana kata Imam Al-Iraqy). Istilah Sawadul-A’zham pada hadis diatas sering dinisbatkan pada al-Jama’ah, sebagaimana ini dilakukan oleh ahli hadis dan fiqih terkenal bernama Imam Sofyan ats-Tsauri (w. 161 H) serta Imam Ishaq bin Rahawaih. 

Penafsiran tersebut tidak menyalahi lahiriah hadis tersebut yang intinya adalah untuk selalu memegang pihak yang benar, walaupun jumlahnya sedikit. Sekali lagi, saya rindu untuk bisa bershaum dan berlebaran dengan pemerintah. Namun, selama pemerintah masih belum bisa merubah cara rukyatnya dengan hisab wujudul hilal, mungkin kerinduan itu sementara ini cuma sebatas kerinduan saja. 


Apakah ini memaksakan kehendak? Tidak, ini justru mengikuti al-Qur'an dan as-Sunnah.


Shahih Bukhari 1780: Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Al Aswad bin Qais telah menceritakan kepada kami Sa'id bin 'Amru bahwa dia mendengar Ibnu'Umar radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kita ini adalah ummat yang ummi, yang tidak biasa menulis dan juga tidak menghitung satu bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali berjumlah dua puluh sembilan dan sekali berikutnya tiga puluh hari". 

Musnad Ahmad 4775: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Al Aswad bin Qais Aku mendengar Sa'id bin Amru bin Sa'id menceritakan bahwa ia mendengar Ibnu Umar menceritakan hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Kami adalah kaum yang buta aksara, tidak dapat menulis dan menghitung. Satu bulan itu adalah begini, begini dan begini." Ketiga kalinya beliau mengikat ibu jarinya: "Dan satu bulan itu adalah begini, begini dan begini." Yakni genap tiga puluh hari."

Sunan Nasa'i 2111: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dia berkata; telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman dari Sufyan dari Al Aswad bin Qais dari Sa'id bin 'Amru dari Ibnu 'Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya kita adalah umat yang ummi (buta huruf), kita tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung, satu bulan itu begini, begini dan begini -tiga kali-hingga beliau menyebutkan dua puluh sembilan hari."

Hadis diatas bisa kita lihat sebagai sebuah pengakuan yang jujur dari pribadi Nabi Muhammad Saw mengenai status peradaban umatnya saat itu. Dimana mereka disebutkan tidak pandai dalam hal ilmu pengetahuan (termasuk baca, tulis dan menghitung). Jadi, jika ternyata umat beliau sekarang ini sudah lebih pandai dalam hal tersebut ketimbang umat dimasa lalu, maka seyogyanyalah kepandaian ini dipergunakan dalam kerangka menetapkan apa-apa yang sebelumnya sering menjadi keraguan akibat keterbatasan yang ada.

Hadis tersebut menjadi parameter lain untuk kita bila Nabi Muhammad Saw secara tidak langsung mengakui adanya metode lain diluar dari apa yang biasa beliau dan umatnya gunakan untuk penentuan bulan baru. Memang tidak menutup kemungkinan bahwa dimasa Nabi Saw hidup, ada orang-orang tertentu yang bisa melakukan proses penghitungan bulan atau merukyat bil'ilmi, akan tetapi karena cara dan bentuk kepastian dari metode ini belum bisa disebut akurat akibat keterbatasan kondisi peradaban dimasa itu maka Nabi Saw belum menggunakan metode seperti ini.

Masalah ini erat kaitannya dengan situasi dan kondisi masyarakat pada waktu itu, yakni mereka pada umumnya tidak dapat menulis dan menghitung. Ini berarti jika kondisi yang disebutkan dalam hadits tersebut tidak ditemukan lagi, maka tidak ada keharusan melakukan rukyat dan sebagai alternatifnya adalah kebolehan melakukan hisab. Jadi, ke-ummi-an umat merupakan 'illat dari perintah ditetapkannya rukyat. Dengan demikian, yang menjadi al-ashl adalah rukyat  yang secara jelas telah ditetapkan oleh nash hadis.

Kemudian obyek yang akan ditentukan hukumnya adalah status hisab, karena penetapan hisab secara eksplisit memang tidak ditegaskan oleh nash hadis tersebut. Oleh karena itu, hisab berposisi sebagai al-far'u dalam kasus ini. Sedangkan yang menjadi hukm al-ashl adalah keharusan melakukan rukyat dalam menentukan bulan baru. Lebih jauh mungkin perlu dipertegas juga bahwa 'illat (sebab) selalu berjalan bersama ma'lul (musabab) dalam keberadaannya maupun ketiadaannya.

Hal ini berarti untuk kasus kita diatas, apabila umat Islam telah keluar dari kondisinya yang ummi dan telah mampu menulis dan berhitung, maka dangan sendirinya hisab dapat diberlakukan. Disini saya juga akan mengutip dari bukunya Buya Hamka “Pandangan Hidup Muslim” terbitan Bulan Bintang Djakarta 1966 halaman 142 :
“Kalau misalnya hiduplah Nabi kita Muhammad Saw dijaman kita ini, agaknya akan beliau suruhkanlah Bilal bin Rabah melakukan azan dengan memakai loadspeaker dan mikrofon. Akan beliau suruhkan agaknya Mu'az bin Djabal menyebarkan Islam kenegeri Yaman, bahkan keseluruh dunia dengan memakai radio”.

Saya sependapat dengan almarhum Buya Hamka tersebut, bahkan mungkin Nabi Saw pun akan melakukan dakwah beliau dengan memanfaatkan email, milis, handphone, chat, telekonfrens, buku, brosur dan sebagainya sesuai bentuk-bentuk penyampaian informasi yang sudah kita kuasai dijaman sekarang. Hal ini selaras pula dengan apa yang disampaikan oleh Bapak M. Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya “Pedoman Puasa”, terbitan Bulan Bintang Djakarta 1960 halaman 53 :
“Perintah berpuasa sesudah melihat bulan dengan mata kepala adalah : Lil Irsyad bukan Lil Idjab yaitu melihat bulan dengan mata kepala hanyalah salah satu jalan memulai puasa tetapi bukan satu-satunya jalan. Ini hanya jalan yang ditempuh oleh umat yang belum pandai berhisab. Karenanya sangat menggelikan hati kalau orang berpuasa yang fanatik kepada lahir perintah, terus menetapkan bahwa dialah (rukyat bil fi'li) satu-satunya jalan buat memulai puasa”.

Sabda-sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang berkaitan dengan penentuan bulan baru pada masanya yang merujuk pada visualisasi secara lahiriah bila kita lihat secara jujur dan pikiran terbuka (open minded) sama sekali tidak bertentangan dengan penetapan untuk hal yang sama dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan hasil kemajuan teknologi modern.

Akhirnya, mari kita sama membuka pikiran dan mencoba untuk lebih dewasa dalam berpikir dan berpaham.

Artikel yang terkait dengan ini adalah :

Taat pada Ulil Amri : Apa Maksudnya? 
Link: http://arsiparmansyah.wordpress.com/2013/07/08/taat-pada-ulil-amri-minkum-apa-maksudnya/

Hisab sebuah kemutlakan :
Link : http://arsiparmansyah.wordpress.com/2010/07/28/hisabitumutlak/

No comments:

Post a Comment