Monday, July 8, 2013

Taat pada Ulil Amri Minkum: Apa maksudnya?

Oleh : Armansyah

Mentaati perintah Ulil Amri merupakan satu kesatuan dari perintah untuk mentaati Allah dan mentaati Rasul-Nya. Hal ini tercantum dalam kitab suci al-Qur'an surah An-Nisaa' ayat 59 :

[caption id="attachment_2498" align="aligncenter" width="468"]ilustrasi Surah an-Nisaa' ayat 59 ilustrasi Surah an-Nisaa' ayat 59[/caption]
yaa ayyuhaa alladziina aamanuu athii'uu allaaha wa-athii'uu alrrasuula waulii al-amri minkum fa-in tanaaza'tum fii syay-in farudduuhu ilaa allaahi waalrrasuuli in kuntum tu'minuuna biallaahi waalyawmi al-aakhiri dzaalika khayrun wa-ahsanu ta'wiilaan 

Terjemahan ayat diatas adalah :

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.



Asbabun Nuzul ayat ini dari Ibnu Abbas, katanya, "Diturunkan ayat ini pada Abdullah bin Hudzafah bin Qais, yakni ketika ia dikirim oleh Nabi saw. dalam suatu ekspedisi. Berita itu diceritakannya secara ringkas. Dan kata Daud, ini berarti mengada-ada terhadap Ibnu Abbas, karena disebutkan bahwa Abdullah bin Huzafah tampil di hadapan tentaranya dalam keadaan marah, maka dinyalakannya api lalu disuruhnya mereka menceburkan diri ke dalam api itu. Sebagian mereka menolak, sedangkan sebagian lagi bermaksud hendak menceburkan dirinya." Katanya, "Sekiranya ayat itu turun sebelum peristiwa, maka kenapa kepatuhan itu hanya khusus terhadap Abdullah bin Hudzafah dan tidak kepada yang lain-lainnya? Dan jika itu turun sesudahnya, maka yang dapat diucapkan pada mereka ialah, 'Taat itu hanyalah pada barang yang makruf,' jadi tidak pantas dikatakan, 'Kenapa kalian tidak mau mematuhinya?'"



Dalam pada itu Hafizh Ibnu Hajar menjawab bahwa yang dimaksud di dalam kisahnya dengan, "Jika kamu berselisih pendapat dalam sesuatu hal," bahwa mereka memang berselisih dalam menghadapi perintah itu dengan kepatuhan, atau menolaknya karena takut pada api. Maka wajarlah bila waktu itu diturunkan pedoman yang dapat memberi petunjuk bagi mereka apa yang harus diperbuat ketika berselisih pendapat itu yaitu mengembalikannya kepada Allah dan Rasul. Dan Ibnu Jarir mengetengahkan bahwa ayat tersebut diturunkan mengenai kisah yang terjadi di antara Ammar bin Yasir dengan Khalid bin Walid yang ketika itu menjadi amir atau panglima tentara. Tanpa setahu Khalid, Ammar melindungi seorang laki-laki hingga kedua mereka pun bertengkar.


Dari ini semua maka Ulil Amri, memang diangkat untuk ditaati. Akan tetapi Nash Ulil Amri Minkum itu sendiri, tidak lantas menjadi menjadi pintu mati yang menutup perbedaan dikalangan umat Islam. Teks :  athii'uu allaaha wa-athii'uu alrrasuula waulii al-amri minkum masih di ikuti dengan teks "fa-in tanaaza'tum fii syay-in farudduuhu ilaa allaahi waalrrasuuli"  yang artinya, jika terhadap keputusan yang ditetapkan oleh ulil amri ini ternyata tidak terjadi kesepakatan alias masih timbul perbedaan dimasyarakat, maka kembalikanlah lagi pada nash Qur'an dan Sunnah atau Allah dan Rasul-Nya.




Dengan demikian urutannya :


Al-Qur'an - Sunnah - Ulil Amri - Al-Qur'an - Sunnah 



Artinya apa? ketika kesepakatan dengan pemerintah atau ulil amri ini tidak bisa diwujudkan maka kembali lagi pada keyakinan dan cara pemahaman masing-masing, orang per-orang akan dalil dan nash yang terdapat pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berbeda cara pemahaman terhadap suatu teks keagamaan adalah suatu keniscayaan didalam Islam. Selama perbedaan masing-masing itu masih berpijak pada nash yang bisa dipertanggung jawabkan dan dilakukan atas dasar iman dan ilmu maka tidak perlu dipaksakan agar menjadi sama. Tidak pula harus di hukum sebagai tindakan pembangkangan pada ulil amri. Itulah titik indahnya Islam. Bisa berbeda madzhab, berbeda cara pikir, berbeda cara memahami nash namun tetap dalam rangkai persatuan akidah Tauhid dan ke-Rasulan.


Saya ingat sebuah peristiwa dimasa lalu, ketika Imam Ali bin Abi Thalib berkuasa menggantikan khalifah Usman yang wafat terbunuh, sekurang-kurangnya terjadi tiga pemberontakan besar : yaitu pemberontakan yang dilakukan oleh Mu'awiyah, kelompok Khawarij dan kelompok sayyidah 'Aisyah yang menolak untuk taat kepadanya. Fakta bila Imam Ali tidak langsung memerangi mereka sampai beliau memang punya alasan khusus untuk melakukannya. Padahal jelas beliau (yaitu Imam Ali) diangkat secara legitimasi sebagai ulil amri umat beriman. Namun diawal kejadian ketiganya, beliau menyikapi sikap yang berbeda dari Mu'awiyah, Khawarij dan 'Aisyah terhadap pemerintahannya justru bukan sebagai suatu pembangkangan.


Hikmah lain dari "kebolehan" berbeda pandangan dan sikap terhadap ulil amri ini adalah untuk menumbuhkan sikap kritis dan kontrol pada ulil amri agar tidak bersikap otoriter dan semena-mena pada masyarakat dibawahnya.


Lepas dari kasus ini, Nabi Muhammad SAW juga tidak menutup mata akan adanya penafsiran berbeda terhadap suatu perintah agama yang sama. Pernah dijaman beliau masih hidup, para sahabat justru berbeda memahami perintah pelaksanaan sholat Ashar yang diberikan oleh Rasulullah SAW sendiri. Berikut kutipan riwayat tersebut :




Shahih Bukhari 3810: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma' telah menceritakan kepada kami Juwairiyah bin Asma' dari Nafi' dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma, ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda ketika perang al-Ahzab: "Janganlah seseorang melaksanakan shalat 'Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah." Setelah berangkat, sebagian dari pasukan melaksanakan shalat 'Ashar di perjalanan sementara sebagian yang lain berkata; "Kami tidak akan shalat kecuali setelah sampai di perkampungan itu." Sebagian yang lain beralasan; "Justru kita harus shalat, karena maksud beliau bukan seperti itu." Setelah kejadian ini diberitahukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau tidak menyalahkan satu pihakpun."


Shahih Muslim 3317: Dan telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Muhammad bin Asma Ad Bua'i telah menceritakan kepada kami Juwairiyah bin Asma dari Nafi' dari Abdullah dia berkata, "Ketika kami telah kembali dari perang Ahzab, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berseru kepada kami: "Hendaklah tidak ada seorangpun yang melaksanakan shalat zhuhur kecuali jika ia telah sampai di tempat Bani Quraizhah." Lalu sebagian sahabat ada yang khawatir akan habisnya waktu shalat, sehingga mereka melaksanakannya sebelum memasuki daerah Bani Quraizhah. Sedangkan yang lainnya berkata, "Kami tidak akan melaksanakan shalat kecuali pada tempat yang telah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pesankan untuk kami, meskipun waktu shalat telah habis." Abdullah berkata, "Dan ternyata beliau tidak mencela salah satu dari kedua kelompok tersebut."

Jadi ? apa yang bisa ditarik dari tulisan saya kali ini ?


Kita sama buka mata dan buka hati saja. Berbeda itu hal yang indah, selama masih berdiri diatas suatu nash yang jelas dan bisa dipertanggung jawabkan mari kita sama dewasa. Tidak saling memaksakan kehendak.



Sepakat ? 

2 comments:

  1. Assalamualaikun wr. wb
    Yg dimaksud dg ulil amri menurut Allah adalah pemimpin yg memberi petunjuk dg perintah Allah (amrillah) dan dg perintah Allah itu ia mengadili

    (وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ ۖ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ) [Surat Al-Anbiya : 73]

    Perintah Allah di ayat lain disebut sbg al hak

    (وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ) [Surat Al-Araf : 181]

    (وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ) [Surat As-Sajda : 24]

    Mereka contohnya khalifah nabi Daud dan Sulaiman yang jelas jelas memerintah atas dasar wahyu Allah.
    Adapun pemerintahan yang menolak hukum Allah sbg sumber hukum bukanlah ulil amri yang dimaksud Allah.
    Kpd pe(me)rintah(an) mereka orang yg tunduk kepada Allah (muslin) dilarang taat.
    dalilnya:
    (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ) [Surat Aal-E-Imran : 118]
    Bersahabat saja dilarang apalagi menjadikan mereka sbg pemimpin.

    (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ) [Surat At-Tawba : 23]

    (كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ ۩) [Surat Al-Alaq : 19]
    Oh y g sempet tulis artinya. Silakan sajacdi buka terjemah Alqurannya.
    Jazakallah

    ReplyDelete