Tiga tahun belajar karate di Gojukai, satu tahun belajar Jiu jitsu dan 22 tahun belajar tenaga dalam di Prana Sakti, saya hanya punya satu kesimpulan: Manusia itu makhluk yang dhoif. Segala teknik pukulan, tendangan, tangkisan, kuncian, bantingan hingga pernafasan di olah dan dilatih, tetap saja tak bisa melepaskan diri dari ketergantungan pada Allah.
Olehnya maka belajar ilmu beladiri, apapun jenis dan bentuknya, jika tak menghantarkan pelakunya kedalam kesadaran akan kehambaan dirinya dihadapan sang maha pencipta Allah Azza Wajalla, maka pada hakekatnya dia belumlah sampai pada tingkat tertinggi dari ilmunya. Ethernya tak akan mampu bersinar terang dengan warna kuning keemasan. Arus laju ethernya belum mencapai sepenuhnya kesebelas chakra mayor yang mampu menyeimbangkan tubuh fisik dan tubuh bioplasmiknya. Gerak jurus maupun diamnya cuma sebatas ritual gagah-gagahan atau juga nafas-nafasan. Tak ada arti, tak ada manfaatnya. Maka syetanlah yang jadi pujaannya. Baik syetan dalam wujud manusia seperti dirinya sendiri maupun syetan dalam wujud Jin.
Totalitas penghambaan kepada Allah menjadi kunci untuk kenaikan level kearifan, kematangan ilmu, kedewasaan pribadi serta keluasan wawasan. Geraknya, diamnya, tidurnya apalagi marahnya senantiasa bersinar karena ruh dalam raganya senantiasa digetarkan dengan ketaqwaan pada Sang Pemilik Asmaul Husnah. Bencinya karena Allah, senangnya juga karena Allah. Tidak ada ruang ketakutan apalagi penghambaan untuk makhluk, sebab makhluk adalah fana, makhluk bersifat dhoif. Hanya Allah yang maha sempurna.
Angin tak terlihat bukan berarti angin tak ada. Telinga yang jelas ada iapun bahkan tak bisa nampak dimata. Hidup ternyata tak cuma selesai dirasa-rasa, hidup butuh diraba. Bukan diraba dulu baru ia menjadi hidup, tapi raba dalam arti periksa. Bagaimana memeriksa angin, bagaimana meraba kuping? Ah, ternyatapun raba tak sekedar raba-raba, tapi raba dengan ilmu. Tak cukup ilmu akhirat saja, maka periksalah dengan ilmu dunia. Rabalah dengan teknologi, buka serta luaskan wawasan. Jangan terus hidup bagai katak dalam tempurung. Terbanglah kebelantara ilmiah dengan tetap membawa iman beserta langkah.
Palembang, 23 April 2014.
Armansyah.
No comments:
Post a Comment