Ada kabar di awal bulan Pebruari 2015 ini dari salah satu Pesantren di Jombang terkait tentang adanya fatwa mereka yang menyatakan sholat 3 waktu. Jika kita orang awam dan langsung menelan mentah-mentah fatwa tersebut, maka yang keluar dari lisan kita pasti celaan, cacian, penyesatan hingga boleh jadi menuding pesantren dan ulama yang berfatwa demikian sebagai kafir.
Tidak demikian sebetulnya sahabatku yaa ikhwan fillah. Jangan membiasakan diri berkomentar tanpa ilmu apalagi sampai memberikan vonis tertentu. Baca dulu fatwanya baik-baik dan utuh, lihat dan analisa kitab-kitab hadis yang otoritatif sehubungan apa yang difatwakan itu. InsyaAllah, niscaya akan didapati bahwa fatwa tersebut dapat dibenarkan dan tidak menyelisihi nash. Hanya saja kita selama ini tidak pernah membaca atau mendengarnya. Tinggal lagi sekarang, bagaimana caranya menyampaikan itu secara bijak dan tidak disalahgunakan oleh orang-orang tertentu. Munculnya penolakan adalah wajar, sebab sekali lagi itu terkait dengan latar belakang pendidikan, pergaulan, wawasan hingga pengalaman masing-masing orang.
Pertama, mari kita lihat dulu beritanya :
Berita pertama :
Adalah Pondok Pesantren Urwatul Wutsqo (PPUW) di Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur yang mengeluarkan ide kontroversial tersebut setelah menerapkan hukuman cambuk bagi santrinya.
Pada stiket tersebut, tertulis Salat 3 Waktu disebut Shalat Jamak. Misalnya Dzuhur dan Ashar, dilakukan pada waktu Dzuhur. Kemudian Shalat Magrib dan Isya’dilakukan pada waktu Isya. Dalam Islam disebut salat yang dijamak.
Yang kontroversial, dalam stiker disebutkan salat jamak bisa dilakukan orang yang tidak bepergian (musyafir). Bahkan, salat 3 waktu bisa dilakukan bagi orang yang berprofesi sebagai pekerja, pedagang kaki lima, petani dan sebagainya. Dalam stiker itu tertulis “Boleh dilakukan tiap hari meski tidak pergi.”
Stiker itu juga tertulis, salatnya yang bisa dilakukan saat seseorang harus pergi, adalah salat Qoshor. “Yaitu dengan baju najis, tidak berdiri dsb, atau menyingkat empat rakaat menjadi dua rakaat,” tulis stiker tersebut.
Peredaran stiker ini menuai keresahan bagi masyarakat setempat yang mayoritas penganut ahlusunnah wal jamaah atau Nahdlatul Ulama (NU).
Sumber: http://berita.suaramerdeka.com/anjuran-shalat-tiga-waktu.../
Berita kedua :
Pondok Pesantren Urwatul Wutsqo (PPUW) Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, Jombang mengakui telah mengeluarkan fatwa salat tiga waktu. Dzuhur dengan Ashar dijamak, Magrib dan Isya' juga dijamak. Ini boleh dilakukan meski tidak dalam keadaan bepergian jarak jauh (Musyafir).
"Stiker yang kami edarkan ini untuk para pekerja yang sibuk. Di antaranya para sopir truk, tukang becak, dan para buruh tani. Karena mereka tidak bisa tepat waktu untuk melaksankan salat lima waktu," kata Hj Quratul Ayun, istri pengasuh PPUW Bulurejo, kepada wartawan di kediamannya, Kamis 19 Februari 2015.
Quratul Ayun merupakan istri dari Qoyim Ya'qub, pengasuh PPUW. Kiai Qoyim enggan menemui wartawan guna memberikan penjelasan. "Saya yang disuruh memberikan keterangan kepada wartawan," ujarnya.
Dia lantas menyodorkan dasar hukum tentang ajaran salat tiga waktu tersebut, yakni surat Al Isra' ayat 78. Dalam surat itu, lanjutnya, ada tiga waktu salat. Pertama, saat tergelincirnya matahari, kemudian gelap malam, dan terang fajar.
"Salat jamak juga ada dalam hadits nabi," katanya
Seperti diberitakan, sejak sepekan terakhir ini beredar stiker yang berisi salat tiga waktu. Stiker itu mengundang banyak kontroversi masyarakt muslim di Jawa Timur Selanjutnya, MUI juga menindaklanjuti temuan tersebut. (ren)
Sumber : http://m.news.viva.co.id/.../591967-salat-3-waktu-di...
Dari berita diatas, ada hal yang harus digaris bawahi :
1. Salat 3 Waktu disebut Shalat Jamak. Misalnya Dzuhur dan Ashar, dilakukan pada waktu Dzuhur. Kemudian Shalat Magrib dan Isya’dilakukan pada waktu Isya. Dalam Islam disebut salat yang dijamak.
Artinya pada point ini, sesungguhnya sholat yang dilakukan tetaplah 5, yaitu: Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya
Permasalahannya hanya ke-5 sholat itu di jamak, dengan waktu yang sesuai keterangan mereka diatas.
2. Fatwa ini untuk para pekerja yang sibuk. Di antaranya para sopir truk, tukang becak, dan para buruh tani. Karena mereka tidak bisa tepat waktu untuk melaksankan salat lima waktu.
Artinya pada point ini, ada sebab yang menjadi akibat keluarnya fatwa tersebut.
3. Sholat dengan dijamak Ini boleh dilakukan meski tidak dalam keadaan bepergian jarak jauh (Musyafir).
Nah sekarang, apakah hal tersebut secara nash nabawiyah ada pijakannya? Mari sama-sama saya ajak sahabat sekalian membaca dengan perlahan hadis-hadis berikut ini:
Musnad Ahmad 20992: Telah menceritakan kepada kami 'Abdur Rahman telah menceritakan kepada kami Qurroh bin Kholid dari Abu Az Zubair telah menceritakan kepada kami Abu Ath Thufail telah menceritakan kepada kami Mu'adz bin Jabal, ia berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam pergi dalam salah satu perjalanan beliau saat perang Tabuk, beliau menjamak dhuhur dan ashar, maghrib dan isya'. Saya bertanya; Apa yang menyebabkan beliau melakukannya. Ia menjawab; Agar tidak memberatkan ummat beliau.
Musnad Ahmad 2426: Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Zubair dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjama' antara Zhuhur dan Ashar di Madinah ketika tidak sedang bepergian dan tidak pula dalam kondisi takut (khawatir)." Sa'id bin Jubair berkata; "Wahai Ibnu Abbas, mengapa beliau melakukan yang demikian?" dia menjawab; "Beliau ingin agar tidak memberatkan seorang pun dari umatnya."
Musnad Ahmad 3095: Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Az Zubair dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata; Aku melakukan shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam delapan rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus. Aku bertanya kepada Ibnu Abbas; Mengapa beliau mengerjakan seperti itu? ia menjawab; Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.
Musnad Ahmad 3152: Telah menceritakan kepada kami Waki' telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Habib bin Abu Tsabit dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah bukan karena takut dan tidak pula hujan. Aku bertanya kepada Ibnu Abbas; Mengapa beliau lakukan itu? ia berkata; Agar tidak memberatkan umatnya.
Sepintas, hadis-hadis tersebut memang disebutkan semuanya bersumber dari kitab musnad Ahmad, tapi hal ini tidak sepenuhnya benar. Sebab hadis-hadis sejenis juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya.
Shahih Muslim 1147: Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus dan 'Aun bin Salam semuanya dari Zuhair. Ibnu Yunus mengatakan; telah menceritakan kepada kami Zuhair telah menceritakan kepada kami Abu Zubair dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas katanya; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah shalat Zhuhur dan Ashar sekaligus di Madinah bukan karena takut dan bukan pula karena safar." Abu Zubair mengatakan; "Aku bertanya kepada Sa'id; "Mengapa beliau melakukan hal itu? Dia menjawab; Aku bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana kamu bertanya kepadaku, lalu dia menjawab; "Beliau ingin supaya tidak merepotkan (memberatkan) seorangpun dari umatnya."
Shahih Muslim 1151: Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Abu Kuraib keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah (dan diriwayatkan dari jalur lain) telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib dan Abu Said Al Asyajj sedangkan lafadznya milik Abu Kuraib, keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Waki', keduanya dari Al A'masy dari Habib bin Abu Tsabit dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas katanya; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah menjamak antara zhuhur dan ashar, maghrib dan isya` di Madinah, bukan karena ketakutan dan bukan pula karena hujan." Dalam hadis Waki', katanya; aku tanyakan kepada Ibnu Abbas; "Mengapa beliau lakukan hal itu?" Dia menjawab; "Beliau ingin supaya tidak memberatkan umatnya."
Begitupula dalam kitab Sunan Abu Daud
Sunan Abu Daud 1025: Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Habib bin Abu Tsabit dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah menjama' shalat Dluhur dan Ashar, antara shalat Maghrib dan Isya' di Madinah, tidak dalam kondisi ketakutan, tidak pula hujan." Maka di tanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas; "Apa maksud beliau melakukan hal itu?" Ibnu Abbas menjawab; "Supaya tidak memberatkan umatnya."
Dari hadis-hadis yang telah disebutkan pada bagian atas maka dapat terlihat bila Rasul pernah melakukan sholat jamak seperti itu dalam dua keadaan :
1. Dalam keadaan bepergian (artinya sedang dalam perjalanan dan berperang atau dapat juga kita sebut beliau SAW dalam kondisi sibuk)
2. Dalam kondisi yang lapang, artinya tidak sedang keadaan bepergian atau juga terkendala cuaca
Nah, jika kita berpijak dari nash-nash diatas ini maka apa yang difatwakan oleh Pesantren tersebut pada hakekatnya masih memiliki pijakan nash agama. Jika kita menilik dari dasar timbulnya fatwa pesantren ini, maka jelas fatwa tersebut beralasan. Yaitu untuk tidak memberatkan orang yang memang kondisinya ditempat itu boleh jadi sesuai pengamatan dari orang-orang pesantren ini tergolong sering meninggalkan sholat wajib.
Shahih Muslim 3262: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Abu Kuraib sedangkan lafadznya dari Abu Bakar, keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Buraid bin Abdullah dari Abu Burdah dari Abu Musa dia berkata, "Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat seseorang dari sahabatnya untuk melaksanakan perintahnya, beliau bersabda: "Berilah mereka kabar gembira dan janganlah menakut-nakuti, mudahkan urusan mereka jangan kamu persulit."
Oleh sebab itu menjadi suatu kewajiban tersendiri dalam hal ini bagi pihak yang berwenang seperti MUI selaku lembaga formal yang posisinya diakui oleh umat maupun juga pemerintah untuk menyelidiki lebih lanjut sekaligus memberikan penjelasan pada khalayak terkait masalah ini.
Perlu ada kajian yang komprehensif terhadap perilaku umat Islam sebagaimana yang telah dijadikan alasan oleh pesantren Urwatul Wutsqo. Apakah benar sebagian besar orang-orang yang disebutkan itu memang merasa keberatan dan terkendala dalam melakukan 5 sholat fardhu pada waktunya?
Intinya selama tidak ada dalil lain yang membatalkan hadis-hadis tersebut maka meskipun ia "pernah dilakukan oleh Nabi" dan "tidak terus menerus" maka status hukum yang dapat disimpulkan terhadap kasus ini adalah : Boleh (Mubah).
Tinggal lagi seperti yang saya sampaikan dibagian atas, bagaimana cara menyampaikan ini secara bijak kepada publik agar tidak terjadi penyalahgunaan dalil sehingga membiaskan hukum baku terhadap sholat diawal waktu untuk setiap jenis sholat itu sendiri.
Dalil ini secara ilmu hadis dapat batal manakala misalnya ada kecacatan dalam hal sanad yang membuat derajatnya menjadi lemah atau bahkan maudhu' maupun ada keterangan lain yang menasakhnya.
Wallahua'lam.
Saya pribadi belum pernah melakukan jamak yang demikian, namun karena adanya nash-nash agama terkait masalah tersebut, maka sayapun juga tidak berani membatilkannya. Tidaklah mudah untuk memberi fatwa sesuatu perbuatan itu haram, sesat dan kafir. Semua mesti dengan ilmu dan dasar yang otoritatif.
Mudah-mudahan kita dapat terus bertambah dewasa dalam hal kearifan diri dan bertambah luas ilmu serta pemahaman.
Sometimes we need to jump out of the box and see everything clearly from above.
Armansyah, 20 Pebruari 2015