Pernikahan itu salah satu terapan nyata untuk belajar saling menerima kesamaan dan kekurangan orang lain. Keharmonisan sebuah hubungan percintaan dua insan bukanlah semata tentang rasa cinta itu sendiri, tapi kedewasaan untuk ikhlas mengerti, memahami dan menerima kenyataan bila kita "tidak sedang menikahi diri kita sendiri". Pernikahan adalah langkah awal bagi batin untuk memulai bertanggung jawab dan siap menghadapi kehidupan. Oleh sebab itu, banyak orang mengatakan bila menikah sama dengan menyempurnakan agama pada diri kita.
Tentu sudah menjadi sunnatullah, hidup bersama ditengah perbedaan dan persamaan pasti akan menuai konflik. Olehnya banyak pula orang mengkiaskan hidup berumah tangga sebagai perjalanan diatas sebuah kapal laut dengan ombak yang bergelombang. Terkadang ketika angin sedang bertiup kencang maka layar sesekali akan oleng dan jalannya kapalpun akan naik turun dihantam oleh gelombang. Ini sekali lagi merupakan hukum alam. Bahkan rumah tangga Rasulullah saja tidak luput dari perselisihan paham, meskipun dalam prakteknya tidak seperti kita yang lebih cenderung centang prenang memperturutkan emosi diri.
Oleh sebab itulah, megahnya resepsi pernikahan, banyaknya tamu undangan atau sucinya tempat berlangsungnya akad tidak akan berarti apa-apa jika kita gagal dalam menerjemahkan makna sakinah mawaddah berumah tangga. Puncak asmara dua insan yang menyatu di salah satu sunnah nabawiah tersebut hanya terwujud manakala rohmah atau keridhoan ilahi diperoleh. Dan itu hanya mungkin digapai bila masing-masing pasangan mau tunduk dibawah perintah agama. Masing-masing dari suami dan istri sepakat bila pada akhirnya syurga tujuan bersama.
Quu anfusakum wa ahlikum naro.
Salam dari Palembang Darussalam.
18 Pebruari 2015
Mgs. Armansyah Sutan Sampono Azmatkhan, S.Kom, M.Pd
No comments:
Post a Comment