Tulisan ini awalnya dari pertanyaan yang diajukan oleh salah satu murid saya melalui media sosial facebook di timeline saya tanggal 04 September 2014 (klik saja untuk melihat postingan aslinya).
Ya... sebenarnya ini bukan isyu baru.
Dari dulu pernikahan beda agama selalu menjadi isyu yang bergulir. Permasalahannya klasik, salah satu dari dua orang yang saling mencinta dan mungkin juga telah mengikat diri untuk sehidup tapi tak semati itu berbeda agama. Biasanya juga yang sering mencuat itu ada diantara kedua makhluk ini yang Islam, entah apakah itu laki-lakinya muslim dan wanitanya kafir atau sebaliknya, laki-laki itu kafir dan wanita itu yang muslimah.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang pernikahan dan berlaku resmi di NKRI, BAB 1 Pasal 2 butir (1) mengenai Dasar Perkawinan menyebutkan :
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
(Sumber UU bisa di unduh dari: www.hukumonline.com/pusatdata/detail/26834/node/18/uu-no-1-tahun-1974-perkawinan )
Perkawinan adalah sesuatu yang sifatnya sakral, suci. Perkawinan juga dilakukan salah satunya untuk menghindari perbuatan yang melanggar norma masyarakat seperti berzinah atau kumpul kebo yang merusak tatanan kehidupan, menjadikan manusia tak ubahnya binatang yang tak punya akal. Asal suka sama suka maka hubungan sex dapat dilakukan tanpa perlu ada pertanggung jawaban.
Lihatlah kucing, lihatlah anjing.... sering khan kita melihat kucing kawin dijalanan? adakah rasa malu di diri para kucing itu? oh malu karena dilihat orang. Oh malu karena melakukan hubungan sex ditengah alam raya terbuka.
Jawabnya Tidak ! Mereka tak punya rasa malu.... kenapa? karena mereka tak punya akal yang dapat memberi pelajaran moral pada mereka, memberikan pelajaran adab kepada mereka. Pokoknya asal nafsu birahinya terpenuhi main tunggang saja, main hajar saja.
Selesai melampiaskan hajat binatangnya.... kucing jantan lalu melenggang dengan santai dan meninggalkan kucing betina yang segera setelahnya dalam waktu tak lama akan hamil dan melahirkan.
Apakah kucing jantan itu harus bertanggung jawab atas kehamilan si betina? jawabnya tidak. Mereka tak pernah tahu urusan tanggung jawab. Kenapa demikian? jawabnya ya karena mereka binatang. Sekali lagi binatang. Kucing jantan itu juga tidak merasa punya kewajiban untuk mencari nafkah bagi kucing betina dan anak-anaknya. Kucin jantan itupun tidak harus menyekolahkan anak-anak yang lahir atas perbuatannya. Kucing jantan juga tidak ada kewajiban untuk mengajarkan ilmu agama apapun pada si kucing betina serta anak-anaknya. Kenapa? Jawabnya sama, ya karena mereka binatang. Sekali lagi binatang. Di eja : B-I-N-A-T-A-N-G
Jadi bila ada manusia yang ingin berlaku bebas suka-suka tanpa ada aturan hidup diatas dunia ini maka jawabnya tegas dan pasti bahwa manusia itu sudah ingin dirinya menjadi binatang. Sekali lagi dia ingin jadi binatang. Akalnya sudah tak berfungsi lagi. Bukan karena gila atau penyakit keturunan, tapi memang dia ingin derajatnya disetarakan dengan derajat binatang. Melampiaskan nafu birahinya pada siapa saja yang dia inginkan kemudian setelah itu melarikan diri dari tanggung jawab untuk selanjutnya bertemu dengan orang lain melakukan pula hal yang sama.
Persis khan dengan kelakuan binatang?
Nah, aturan perkawinan dibuat, entah itu undang-undang perkawinan negara ataupun syari'at agama ditujukan bukan untuk membatasi kebebasan manusia dalam menyalurkan hajat nafsunya, melainkan memberi rambu-rambu, norma dan perlindungan bagi masing-masing insan yang terlibat perkawinan itu sendiri.
Perkawinan dua orang anak manusia bukan hanya melibatkan dua orang laki-laki dan perempuan itu saja, namun juga akan melibatkan dua keluarga bersatu. Keluarga si laki-laki dan keluarga si perempuan. Si perempuan juga bukan cuma menjadi alat pemuas nafsu laki-laki seperti halnya kucing betina bagi jantannya, tetapi juga berhak mendapatkan pengayoman dari sang suami berupa nafkah sehari-hari, pakaian, kediaman tempat tinggal, harta warisan, bimbingan akhlak, bimbingan bersosialisasi dengan masyarakat dan puncaknya adalah sang istri berhak untuk mendapat bimbingan sang suami untuk menuju ke syurga. Hal yang sama juga berlaku untuk anak-anak yang terlahir dari hasil perkawinan kedua orang tersebut.
Jadi perkawinan bukan sesederhana pikiran orang yang sedang dimabuk oleh cinta dan syahwat, asal aku cinta kamu dan kamupun cinta aku. Aku dan kamu cinta-cintaan lalu pergi kepenghulu, ijab kabul entah dihadapan al-Qur'an atau berdiri diatas altar. Tidak demikian. Perkawinan tidak sesimpel itu. Perkawinan itu kompleks. Penuh rambu dan aturan main.
Nabi sejak dini sudah mengatur perkawinan ini agar hendaknya dilakukan atas dasar agama. Artinya agama dijadikan alasan pertimbangan rasional yang prioritas, bukan cinta. Kenapa? karena cinta manusia pada makhluk hanya bersifat sementara, tidak kekal, penuh dengan tipuan, penuh dengan nafsu. Setelah berjalan sekian lama, cinta dapat pelan-pelan terkikis, memudar dan hilang.
Lihatlah fakta dihadapan kita hari ini.... berapa banyak orang yang menikah itu awalnya berdasarkan alasan cinta, tapi seiring waktu pernikahannya menjadi kandas. Entah oleh perbedaan ini atau perbedaan itu.
Apapun alasan perbedaan yang menyebabkan perceraian itu terjadi namun pastinya cinta ternyata tidak dapat menjadi alat penyatu, cinta tidak dapat dijadikan alasan untuk mempertahankan mahligai perkawinan yang dulu digadang-gadang sebagai alasan utama mereka melangsungkan ijab kabulnya.
Disini, cinta bisa kita buktikan tidaklah berarti apa-apa dan olehnya jangan dijadikan alasan utama untuk memulai mahligai pernikahan. Maka benarlah ucapan Nabi Muhammad SAW.
Shahih Muslim 2661: Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Seorang wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu beruntung."
Tapi bukankah banyak orang yang menikah atas dasar agama namun juga akhirnya bercerai? bukankah sama saja?
Saya jawab... sekilas iya sama, tetapi hakekatnya berbeda. Mari saya jelaskan....