Tulisan ini awalnya dari pertanyaan yang diajukan oleh salah satu murid saya melalui media sosial facebook di timeline saya tanggal 04 September 2014 (klik saja untuk melihat postingan aslinya).
Ya... sebenarnya ini bukan isyu baru.
Dari dulu pernikahan beda agama selalu menjadi isyu yang bergulir. Permasalahannya klasik, salah satu dari dua orang yang saling mencinta dan mungkin juga telah mengikat diri untuk sehidup tapi tak semati itu berbeda agama. Biasanya juga yang sering mencuat itu ada diantara kedua makhluk ini yang Islam, entah apakah itu laki-lakinya muslim dan wanitanya kafir atau sebaliknya, laki-laki itu kafir dan wanita itu yang muslimah.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang pernikahan dan berlaku resmi di NKRI, BAB 1 Pasal 2 butir (1) mengenai Dasar Perkawinan menyebutkan :
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
(Sumber UU bisa di unduh dari: www.hukumonline.com/pusatdata/detail/26834/node/18/uu-no-1-tahun-1974-perkawinan )
Perkawinan adalah sesuatu yang sifatnya sakral, suci. Perkawinan juga dilakukan salah satunya untuk menghindari perbuatan yang melanggar norma masyarakat seperti berzinah atau kumpul kebo yang merusak tatanan kehidupan, menjadikan manusia tak ubahnya binatang yang tak punya akal. Asal suka sama suka maka hubungan sex dapat dilakukan tanpa perlu ada pertanggung jawaban.
Lihatlah kucing, lihatlah anjing.... sering khan kita melihat kucing kawin dijalanan? adakah rasa malu di diri para kucing itu? oh malu karena dilihat orang. Oh malu karena melakukan hubungan sex ditengah alam raya terbuka.
Jawabnya Tidak ! Mereka tak punya rasa malu.... kenapa? karena mereka tak punya akal yang dapat memberi pelajaran moral pada mereka, memberikan pelajaran adab kepada mereka. Pokoknya asal nafsu birahinya terpenuhi main tunggang saja, main hajar saja.
Selesai melampiaskan hajat binatangnya.... kucing jantan lalu melenggang dengan santai dan meninggalkan kucing betina yang segera setelahnya dalam waktu tak lama akan hamil dan melahirkan.
Apakah kucing jantan itu harus bertanggung jawab atas kehamilan si betina? jawabnya tidak. Mereka tak pernah tahu urusan tanggung jawab. Kenapa demikian? jawabnya ya karena mereka binatang. Sekali lagi binatang. Kucing jantan itu juga tidak merasa punya kewajiban untuk mencari nafkah bagi kucing betina dan anak-anaknya. Kucin jantan itupun tidak harus menyekolahkan anak-anak yang lahir atas perbuatannya. Kucing jantan juga tidak ada kewajiban untuk mengajarkan ilmu agama apapun pada si kucing betina serta anak-anaknya. Kenapa? Jawabnya sama, ya karena mereka binatang. Sekali lagi binatang. Di eja : B-I-N-A-T-A-N-G
Jadi bila ada manusia yang ingin berlaku bebas suka-suka tanpa ada aturan hidup diatas dunia ini maka jawabnya tegas dan pasti bahwa manusia itu sudah ingin dirinya menjadi binatang. Sekali lagi dia ingin jadi binatang. Akalnya sudah tak berfungsi lagi. Bukan karena gila atau penyakit keturunan, tapi memang dia ingin derajatnya disetarakan dengan derajat binatang. Melampiaskan nafu birahinya pada siapa saja yang dia inginkan kemudian setelah itu melarikan diri dari tanggung jawab untuk selanjutnya bertemu dengan orang lain melakukan pula hal yang sama.
Persis khan dengan kelakuan binatang?
Nah, aturan perkawinan dibuat, entah itu undang-undang perkawinan negara ataupun syari'at agama ditujukan bukan untuk membatasi kebebasan manusia dalam menyalurkan hajat nafsunya, melainkan memberi rambu-rambu, norma dan perlindungan bagi masing-masing insan yang terlibat perkawinan itu sendiri.
Perkawinan dua orang anak manusia bukan hanya melibatkan dua orang laki-laki dan perempuan itu saja, namun juga akan melibatkan dua keluarga bersatu. Keluarga si laki-laki dan keluarga si perempuan. Si perempuan juga bukan cuma menjadi alat pemuas nafsu laki-laki seperti halnya kucing betina bagi jantannya, tetapi juga berhak mendapatkan pengayoman dari sang suami berupa nafkah sehari-hari, pakaian, kediaman tempat tinggal, harta warisan, bimbingan akhlak, bimbingan bersosialisasi dengan masyarakat dan puncaknya adalah sang istri berhak untuk mendapat bimbingan sang suami untuk menuju ke syurga. Hal yang sama juga berlaku untuk anak-anak yang terlahir dari hasil perkawinan kedua orang tersebut.
Jadi perkawinan bukan sesederhana pikiran orang yang sedang dimabuk oleh cinta dan syahwat, asal aku cinta kamu dan kamupun cinta aku. Aku dan kamu cinta-cintaan lalu pergi kepenghulu, ijab kabul entah dihadapan al-Qur'an atau berdiri diatas altar. Tidak demikian. Perkawinan tidak sesimpel itu. Perkawinan itu kompleks. Penuh rambu dan aturan main.
Nabi sejak dini sudah mengatur perkawinan ini agar hendaknya dilakukan atas dasar agama. Artinya agama dijadikan alasan pertimbangan rasional yang prioritas, bukan cinta. Kenapa? karena cinta manusia pada makhluk hanya bersifat sementara, tidak kekal, penuh dengan tipuan, penuh dengan nafsu. Setelah berjalan sekian lama, cinta dapat pelan-pelan terkikis, memudar dan hilang.
Lihatlah fakta dihadapan kita hari ini.... berapa banyak orang yang menikah itu awalnya berdasarkan alasan cinta, tapi seiring waktu pernikahannya menjadi kandas. Entah oleh perbedaan ini atau perbedaan itu.
Apapun alasan perbedaan yang menyebabkan perceraian itu terjadi namun pastinya cinta ternyata tidak dapat menjadi alat penyatu, cinta tidak dapat dijadikan alasan untuk mempertahankan mahligai perkawinan yang dulu digadang-gadang sebagai alasan utama mereka melangsungkan ijab kabulnya.
Disini, cinta bisa kita buktikan tidaklah berarti apa-apa dan olehnya jangan dijadikan alasan utama untuk memulai mahligai pernikahan. Maka benarlah ucapan Nabi Muhammad SAW.
Shahih Muslim 2661: Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Seorang wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu beruntung."
Tapi bukankah banyak orang yang menikah atas dasar agama namun juga akhirnya bercerai? bukankah sama saja?
Saya jawab... sekilas iya sama, tetapi hakekatnya berbeda. Mari saya jelaskan....
Orang yang menikah atas dasar agama, artinya dia telah melakukan sesuatu dengan mengawalinya untuk mencari ridhonya Allah. Dia tidak mengatasnamakan sesuatu itu pada cinta kepada makhluk melainkan cintanya kepada al-Khaliq, kepatuhannya pada syari'at yang telah ditetapkan oleh Allah Azza Wajalla. Disini pelakunya mendapat poin jauh lebih baik dibanding orang diluarnya.
Musnad Ahmad 283: Dari 'Alqamah Bin Waqqas Al Laitsi berkata; bahwa dia mendengar Umar Bin Al Khaththab berkhutbah di hadapan manusia dan berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perbuatan itu hanya tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan, barangsiapa Hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya akan menuju kepada Allah dan RasulNya, dan barangsiapa Hijrahnya untuk mendapatkan keduniaan atau untuk seorang wanita yang akan dinikahinya, maka Hijrahnya akan mendapatkan apa yang dia niatkan."
Shahih Bukhari 3609: Dari 'Alqamah bin Waqash berkata, aku mendengar 'Umar radliallahu 'anhu berkata, aku mendengar Rasululah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:; "Setiap amal tergantung dengan niat. Maka siapa yang hijrahnya untuk dunia uang ingin didapatkannya atau untuk seorang wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan, dan barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya".
Jadi paham khan sekarang bedanya?
Lalu bagaimana hukum menikah beda agama itu sendiri?
Secara nash, al-Qur'an memperbolehkan pernikahan beda agama tapi dengan catatan bahwa laki-lakinya adalah seorang muslim dan perempuan yang akan menjadi calon istrinya itu adalah berasal dari kelompok ahli kitab (dalam hal ini masuklah orang-orang kafir dari kalangan Yahudi dan Nasrani) tapi itupun sang perempuan haruslah orang yang mampu menjaga kehormatannya. Bukan perempuan ahli kitab sembarangan. Jika di misalkan pada jaman kita sekarang ini, perempuan itu bukan tipikal wanita yang suka clubbing, hura-hura, bercelana pendek kemana-mana mengumbar auratnya, mampu menutupi aib suami, menjaga hartanya, menjaga nama baik keluarganya, serta menurut pada perintah sang suami.
Dasar argumen ini adalah firman Allah dalam surah al-Maaidah ayat 5.
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.
Pernikahan ini tentu diharapkan bukan untuk menjadikan sang lelaki itu murtad sebaliknya muncul harapan bila sang istri kelak dapat beralih kepada Islam. Posisi suami juga seharusnya menempati posisi kunci dalam keluarga dimana anak-anaknya yang nanti terlahir dari sang perempuan musryik harus mengikuti Islam, bukan menjadi penganut ahli kitab maupun dibagi-bagi, si A ikut bapak, si B ikut ibu.
Ketika pernikahan itu justru dipandang membawa kemudhorotan dari sisi sang laki-laki muslim maka pernikahan itu wajib untuk dibatalkan. Bagaimanapun hukum agama itu diturunkan dengan memiliki pertimbangan rasional dan penuh pertimbangan pada sisi manusia.
Saya pribadi memandang hukum kebolehan menikahi perempuan ahli kitab ini sebagai jalan akhir atau darurat apabila memang tidak lagi ada pilihan pada perempuan beriman. Kira-kira sama seperti hukum memakan babi dikala terdesak dan tak punya pilihan. Sebab bagaimanapun didalam surah al-Baqarah ayat 221 terdapat nash :
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. (Surah al-Baqarah ayat 120)
Terhadap permasalahan ini, semua madzhab dalam Islam seperti madzhab-madzhab orang-orang Ahlussunnah bahkan termasuk madzhab imamiyah dari kelompok Islam Syi'ah sekalipun menolak perempuan muslimah menikahi laki-laki ahli kitab. Pendapat saya pribadi juga tidak berbeda dengan ini. Jikapun nanti negara memperbolehkan, tapi tetap dari sisi syari'at, hukumnya berdosa dan terlarang. Sama seperti berzinah. Untuk apa kita melakukan sesuatu yang diperbolehkan oleh negara tetapi justru dilarang oleh agama? Padahal negara hanyalah bagian dari dunia sedangkan kita pasti akan mati dan kembali pada Allah? Bukankah dunia tidak kekal? Apa kita siap untuk masuk neraka hanya karena urusan syahwat cinta dunia kita yang tidak kekal itu?
Musnad Ahmad 11742: Telah menceritakan kepada kami Waki' berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah berkata; aku berkata kepada Mu'awiyah bin Qurrah, "Apakah engkau mendengar Anas berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada An Nu'man bin Muqarrin: "Putra saudara perempuan dari (hasil perkawinan dengan seorang suami yang berasal dari) suatu kaum, adalah dari kaum tersebut." Ia menjawab; "Ya."
Termaktub pula dalam Perjanjian Lama, Kitab Keluaran (Exodus) pasal 7 ayat 3 dan 4:
Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki; sebab mereka akan membuat anakmu laki-laki menyimpang dari pada-Ku, sehingga mereka beribadah kepada allah lain. Maka murka TUHAN akan bangkit terhadap kamu dan Ia akan memunahkan engkau dengan segera.
Dalam Kitab Hukum Kanonik alias CODEX IURIS CANONICI atau KHK yang diakui oleh orang-orang Katolik disebutkan:
Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima didalamnya setelah baptis dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang, dilarang. (Sumber: KHK no. 1124, lihat : http://www.ekaristi.org/khk/index.php?q=1124 )
Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah.
Dari halangan itu janganlah diberikan dispensasi, kecuali telah dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam Kanon 1125 dan Kanon 1126.
Jika satu pihak pada waktu menikah oleh umum dianggap sebagai sudah dibaptis atau baptisnya diragukan, sesuai norma Kanon 1060 haruslah diandaikan sahnya perkawinan, sampai terbukti dengan pasti bahwa satu pihak telah dibaptis, sedangkan pihak yang lain tidak dibaptis. (Sumber: KHK no. 1086, lihat : http://www.ekaristi.org/khk/index.php?q=1086 )
Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;
Mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik; kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya. (Sumber: KHK no. 1125, lihat : http://www.ekaristi.org/khk/index.php?q=1125 )
Kitab Hukum Kanonik Katolik bisa juga di akses pada link:
http://www.imankatolik.or.id/khk.php atau download versi pdfnya di :
http://bonaventura-pulomas.org/yahoo_site_admin/assets/docs/Kitab_Hukum_Kanonik_2006.228202636.pdf
Dalam kepercayaan Budha, juga disebutkan tentang adanya empat faktor yang membuat rumah tangga lebih berbahagia. Empat hal tersebut telah diuraikan dalam Anguttara Nikaya II, 60 yaitu bahwa pasangan hendaknya memiliki kesamaan dalam Keyakinan, Sila, Kedermawanan, dan Kebijaksanaan. Terkait dengan kesamaan Keyakinan (sadha), dituliskan bahwa keyakinan yang berbeda sering menimbulkan masalah bagi pasangan. Jika masing-masing pihak bersikeras pada keyakinannya, bahkan salah satu pihak memaksakan keyakinannya pada pihak lain, tentunya hal ini akan menyebabkan keharmonisan terganggu. (Lihat : http://artikelbuddhist.com/2011/05/perkawinan-dalam-agama-buddha.html )
Banyak permasalahan yang timbul karena perkawinan beda agama. Salah satunya adalah pemilihan lokasi pemberkahan perkawinan itu sendiri, menurut agama yang pria atau wanita. Kalau hal ini sudah dapat diselesaikan dengan baik, maka berikutnya akan timbul masalah seputar kegiatan kebaktian setiap hari Minggu, akan pergi ke tempat ibadah agama si pria atau wanita. Kalaupun masalah ini bisa diselesaikan, maka jika memiliki anak, akankah dididik menurut agama si bapak atau si ibu? Jika masalah ini sudah bisa diselesaikan dengan baik pula, maka apabila si ayah dan ibu semakin tua serta sakit-sakitan, akankah didoakan menurut agama si sakit ataukah yang sehat?
Kalaupun hal ini bisa diselesaikan, apabila salah satu meninggal dunia, akankah didoakan menurut agama yang meninggal atau yang hidup? Demikian pula dengan bentuk upacara penyempurnaan jenasahnya, begitu pula dengan bentuk makamnya, seandainya dimakamkan. Dan juga, perbedaan agama ini juga terbawa sampai dengan upacara kematian 3 hari, 7 hari, 49 hari, dan seterusnya. Akankah dilaksanakan menurut agama yang meninggal ataukah yang hidup. Dan cerita ini masih bisa diperpanjang lagi untuk melihat dengan jelas bahwa perkawinan beda agama itu sangat beresiko memicu permasalahan ekstra dalam perkawinan. Oleh karena itulah, maka disarankan pasangan hendaknya satu agama sebelum memutuskan untuk hidup bersama dalam rumah tangga. (Lihat: http://buddhistonline.com/tanya/td70.shtml )
Puncak dari perkawinan dalam agama Budha adalah keharusan kedua pasangan untuk mengucapkan ikrar sebagai berikut:
ARAHAM SAMMASAMBUDDHO BHAGAVA
[A-ra-hang Sam-maa-sam-bud-dho bha-ga-waa]
BUDDHAM BHAGAVANTAM ABHIVADEMI
[Bud-dhang Bha-ga-wan-tang Abhi-waa-de-mi)
(Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna;
aku bersujud di hadapan Sang Buddha, Sang Bhagava)SVAKKHATO BHAGAVATA DHAMMO
[Swaak-khaa-to Bha-ga-wa-taa Dham-mo]
DHAMMAM NAMASSAMI
[Dham-mang Na-mas-saa-mi]
(Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagava;
aku bersujud di hadapan Dhamma)SUPATIPANNO BHAGAVATO SAVAKASANGHO
[Su-pa-ti-pan-no Bha-ga-va-to Saa-wa-ka-sang-gho]
SANGHAM NAMAMI
[Sang-ghang na-maa-mi]
(Sangha, siswa Sang Bhagava telah bertindak sempurna,
aku bersujud di hadapan Sangha)
**)
Sebelum menyatakan ikrar perkawinan kedua mempelai mengucapkan Vandana :NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO
SAMMA SAMBUDDHASSA
[Na-mo Tas-sa Bha-ga-wa-to A-ra-ha-to
Sam-maa-sam-bud-dhas-sa]
(tiga kali)
(Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna)Lihat sumbernya di :
Lalu bagaimana menurut Hindhu? Mari kita baca berikut ini:
Perkawinan beda agama, bagi umat Hindu tidak dibenarkan, karena:
1. Manawa Dharmasastra, Buku ke-III (Tritiyo ‘dhyayah) pasal 27 tertulis:
ACCHADYA CARCAYITWA CA, SRUTI SILA WATE SWAYAM,
AHUYA DANAM KANYAYA, BRAHMA DHARMAH PRAKIRTITAH.
Terjemahan leterlijk-nya: Pemberian seorang gadis setelah terlebih dahulu dirias dan setelah menghormat kepada seorang ahli weda yang berbudi bahasa baik yang diundang oleh ayah si gadis, itulah perkawinan brahma wiwaha.
Tafsirnya: seorang wanita yang hendak dikawini oleh seorang lelaki yang beragama Hindu (meyakini kitab suci Weda), hendaklah seorang wanita yang berpendidikan baik (dirias) dan seorang wanita yang taat beragama Hindu (karena ia harus terlebih dahulu mendapat restu orang tua dan disucikan oleh seorang Wiku).
2. Oleh karena itu bila ada beda agama, maka si wanita agar ‘di-Hindu-kan’ dahulu dengan upacara sudhi waddani.
3. Setelah itu barulah pawiwahan dapat dilaksanakan.
Pengertian ‘pluralization’ mungkin kurang tepat kalau kita masukkan dalam ‘srada’ karena masalah keyakinan dan kepercayaan setiap pemeluk agama adalah masalah yang sangat pribadi dan individual.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa hukum perkawinan beda agama, dari sudut kajian agama-agama yang ada khususnya di Indonesia justru tidak mendapat rekomendasi. Hal ini bersesuaian dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang pernikahan dan berlaku resmi di NKRI, BAB 1 Pasal 2 butir (1).
Sampai disini, kiranya segala sesuatu terkait perkawinan beda agama ini telah tuntas dan tidak perlu diperdebatkan kembali. Marilah sama-sama menjalankan apa yang telah ditentukan oleh agama kita sebab itulah yang terbaik.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (al-Qur'an surah at-Tahrim ayat 6)
Shahih Bukhari 2371: Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhriy berkata, telah menceritakan kepadaku Salim bin 'Abdullah dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam (kepala Negara) adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas orang yang dipimpinnya. Seorang isteri di dalam rumah tangga suaminya adalah pemimpin dia akan diminta pertanggung jawaban atas siapa yang dipimpinnya. Seorang pembantu dalam urusan harta tuannya adalah pemimpin dan dia akan diminta pertanggung jawaban atasnya. Dia berkata; "Aku mendengar semuanya ini dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan aku menduga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda: "Dan seseorang dalam urusan harta ayahnya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atasnya. Maka setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya ".
Bumi Palembang Darussalam.
07 September 2014
Mgs. Armansyah Sutan Sampono Azmatkhan
tapi mengapa ada saja .....yg nikah beda agama di indonesia...........? dan itu dibenarkan !!!!!!!! sedang qt tau bahwa masing2 agama melarang hal itu............????????
ReplyDelete