Sebagian orang menganggap memanjangkan pakaian hingga dibawah mata kaki bagi pria adalah haram. Perbuatan tersebut dianggap menyelisihi sunnah dan terancam untuk masuk neraka. Tapi jika kita tinjau dari sudut kacamata nash syar'i-nya, maka pertama-tama, al-Qur'an sama sekali tidak pernah menyinggung perihal isbal bagi pria walaupun hanya dalam satu ayat saja.
Al-Qur'an ketika bicara tentang aurat, lebih menitik beratkan "isbal" pada kaum perempuan yang justru diharuskan untuk mereka. Asbabun Nuzul dari ayat-ayat penutupan aurat bagi perempuan muslimah dapat ditelusuri dari berbagai kitab-kitab tarikh, kitab hadist dan fiqh dari imam-imam madzhab.
Pelarangan isbal yang ditujukan bagi pria dalam kacamata Islam memang pernah ada. Berikut perwakilan sejumlah riwayat terkait dengan isbal ditinjau dari kacamata hadist-hadist yang tersebar.
Shahih Muslim 154: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Muhammad bin al-Mutsanna serta Ibnu Basysyar mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far dari Syu'bah dari Ali bin Mudrik dari Abu Zur'ah dari Kharasyah bin al-Hurr dari Abu Dzar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tiga golongan manusia yang Allah tidak akan mengajak mereka bicara pada hari kiamat, tidak melihat mereka, tidak mensucikan dosanya dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih." Abu Dzar berkata lagi, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membacanya tiga kali. Abu Dzar berkata, "Mereka gagal dan rugi, siapakah mereka wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang yang melakukan isbal (memanjangkan pakaian), orang yang suka memberi dengan menyebut-nyebutkannya (karena riya'), dan orang yang membuat lakubarang dagangan dengan sumpah palsu."
Musnad Ahmad 16033: (Ahmad bin Hanbal radliyallahu'anhu) berkata; telah menceritakan kepada kami Yunus bin Muhammad berkata; telah menceritakan kepada kami Aban dan Abdushshomad berkata; telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Yahya dari Abu Ja'far dari 'Atha` bin Yasar dari beberapa sahabat Nabi Shallallahu'alaihiwasallam berkata; tatkala ada seorang yang shalat dalam keadaan isbal (memanjangkan kainnya sampai bawah mata kaki) pada sarungnya.
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda kepadanya, "Pergilah dan berwudlulah". (beberapa sahabat radliyallahu'anhum) berkata; lalu orang itu pergi dan wudlu, lalu datang lagi. Lalu Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda kepadanya, "Pergilah dan berwudlulah." (beberapa sahabat radliyallahu'anhum) berkata; lalu dia pergi dan berwudlku, kemudian datang. lalu (beberapa sahabat radliyallahu'anhum) bertanya, kenapa anda Wahai Rasulullah, kenapa anda memerintahkannya untuk berwudlu kemudian anda diam?. Beliau menjawab, "Dia shalat sedangkan dia dalam keadaan musbil sarungnya, sesungguhnya Allah Azza wa jalla tidak menerima shalat seorang hamba yang sarungnya isbal."
Lalu bagaimana sebenarnya hukum Isbal itu sendiri? Apakah wajib atau sunnah? bagaimana bila kita melakukannya dalam keseharian kita?
Mari kita perhatikan teks-teks hadist yang juga terkait dengan hadist-hadist kita diatas, memiliki maksud sama tapi redaksi berbeda.
Musnad Ahmad 8643: Telah menceritakan kepada kami Bahz telah menceritakan kepada kami Hammad dari Muhammad dari Abu Hurairah, dia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah tidak melihat kepada orang yang menyeret sarungnya dengan rasa sombong (berlaku isbal)."
Musnad Ahmad 9187: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Syu'bah insyaAllah ia berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata; "Marwan pernah mengangkat Abu Hurairah untuk menggantikannya di Madinah, lalu Abu Hurairah memukul kakinya (kaki seorang pemuda karena isbal, pent) seraya berkata; "Berilah jalan, berilah jalan, Amir (pemimpin) telah datang, Amir telah datang, Abul Qasim shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah tidak melihat seorang hamba yang kain sarungnya menjuntai ke bawah (isbal) karena sombong."
Sunan Nasa'i 5239: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Rafi' ia berkata; telah menceritakan kepada kami Husain bin Ali dari Abdul Aziz bin Abu Rawwad dari Salim dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Isbal (memanjangkan kain) itu terjadi pada kain sarung, gamis dan surban, maka barangsiapa memanjangkan salah satu darinya karena sombong Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat."
Pada 3 hadist terakhir ini jelas ada penambahan redaksional..... bathar atau Al-Bathar. Arti dari kata bathar ini serupa dengan arti dari kata Tabakhtur, yaitu takabur. Dalam terjemahan umum, kata ini biasanya diterjemahkan sebagai "sombong". Terjemahan ini tidaklah salah tapi maknanya saja yang perlu dipahami bersama.
Arti dari sombong menurut agama adalah seperti yang dinyatakan pada hadist berikut:
Sunan Abu Daud 3569: Telah menceritakan kepada kami Abu Musa Muhammad Ibnul Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Muhammad dari Abu Hurairah ia berkata, "Seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam -laki-laki itu seorang yang tampan- dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku menyukai keindahan, dan aku juga diberi keindahan sebagaimana yang engkau lihat, sampai-sampai aku tidak suka jika ada seseorang yang melebihiku -mungkin ia mengatakan, 'meskipun berupa sandal atau tali sandal'-, apakah itu bagian dari rasa sombong?" Beliau menjawab: "Tidak. Akan tetapi Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain."
Pada redaksi aslinya atau matn, hadist diatas menggunakan lafash kibr sebagai rujukan sombong. Sehingga maksud dari sombong pada nash tersebut menjadi jelas seperti yang telah dinukilkan, yaitu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Sementara sombong dalam ber-isbal lebih ditekankan pada takabur atau jumawa.
Mari kita periksa hadist berikut:
Shahih Bukhari 5342: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abu Az Zinnad dari Al A'raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada hari kiamat kelak, Allah tidak akan melihat orang yang menjulurkan kain sarungnya karena sombong."
صحيح البخاري ٥٣٤٢: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًاSunan Ibnu Majah 3559: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu Usamah. (dalam riwayat lain disebutkan) telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair semuanya dari 'Ubaidullah bin Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya orang yang memanjangkan kainnya dengan sombong, maka Allah tidak akan memandang kepadanya pada hari Kiamat."
Shahih Muslim 3889: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair; Telah menceritakan kepada kami Bapakku; Telah menceritakan kepada kami Hanzholah ia berkata; Telah mendengar Salim dari Ibnu 'Umar ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barang siapa yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat kelak. Dan Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Sulaiman Telah menceritakan kepada kami Hanzhalah bin Abu Sufyan dia berkata; Aku mendengar Ibnu Umar berkata; AKu mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: dengan Hadits yang serupa, namun dengan lafazh 'tsiyabahu' (pakaian-pakaian, dengan bentuk jamak, plural) bukan 'tsaubahu (pakaian, dengan bentuk tunggal, singular).'
Musnad Ahmad 15052: Telah menceritakan kepada kami Harun bin Makruf telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb yaitu Abdullah bin Wahb Al Misri berkata; Abdullah dan saya telah mendengarnya dari Harun telah menceritakan kepada kami 'Amr bin Abu Habib dari Yazid bin Abu Habib dari Aslam Abu 'Imran dari Hubaib Mughfil Al Ghifari dia pernah melihat Muhammad Al Qurasyi berdiri dengan menyeret sarungnya lalu Huhaib melihatnya, lantas berkata; 'Saya mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Siapa yang menginjak kainnya karena sombong, dia telah menginjak neraka".
Musnad Ahmad 5276: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Jabalah bin Suhaim dia berkata, saya mendengar Ibnu Umar menceritakan dari Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda: "Barangsiapa yang menyeret (menjulurkan) kain dari pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat."
Sunan Ibnu Majah 3559: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu Usamah. (dalam riwayat lain disebutkan) telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair semuanya dari 'Ubaidullah bin Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya orang yang memanjangkan kainnya dengan sombong, maka Allah tidak akan memandang kepadanya pada hari Kiamat."
Sunan Abu Daud 3570: Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Al 'Ala bin 'Abdurrahman dari Bapaknya ia berkata, "Aku bertanya kepada Abu Sa'id Al Khudri tentang kain sarung, lalu ia berkata, "Engkau bertanya kepada orang yang tepat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kain sarung seorang muslim sebatas setengah betis, dan tidak berdosa antara batas setengah betis hingga dua mata kaki. Adapun apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di neraka. Dan barangsiapa menjulurkan kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat."
Hadist-hadist yang telah kita kemukakan diatas ini hanya representatif saja dari sekian jumlah hadist-hadist yang berbicara mengenai isbal secara utuh. Dalam hadist-hadist ini, isbal selalu dikaitkan dengan kesombongan. Sombong dalam artian takabur. Baik itu dalam konteks takabur akan kekayaan miliknya maupun kepercayaan diri berlebih bila kain atau pakaiannya yang menyeret lantai itu pasti tidak terkena najis.
Boleh jadi masa itu gamis, sarung atau kain mahal itu bentuknya panjang kelantai sehingga hanya mampu dibeli oleh orang-orang kaya diantara mereka. Sehingga dapat di identifikasikan bila orang yang menggunakan pakaian panjang maka dia adalah orang yang kaya sehingga secara tidak langsung terciptalah perbedaan strata sosial dimasyarakat antara si kaya dan si miskin. Semakin panjang pakaiannya maka semakin bergengsi statusnya.
Mari kita lihat contoh beberapa gambar pakaian laki-laki Arab dibawah ini dan perhatikan pada bagian kakinya ....
Sumber: http://4.bp.blogspot.com/
Sumber: http://www.preiswert123.de/
Sumber: http://www.up.7ail.net/
Kembali ke topik.....
Lalu bagaimana jika isbal tersebut dilakukan tidak atau tanpa ada rasa sombong maupun takabur?
Musnad Ahmad 5553: Telah menceritakan kepada kami Affan telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Musa bin 'Uqbah telah menceritakan kepadaku Salim dari Abdullah, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam. bersabda: "Barangsiapa yang menjulurkan (menyeret) pakaiannya karena sombong, Allah tidak melihatnya pada hari kiamat." Abu Bakar berkata, "Wahai Rasulullah, salah satu dari pakaianku selalu melorot kecuali bila saya selalu mengawasinya." Beliau bersabda: " kamu bukan termasuk mereka yang melakukan hal itu karena sombong."
Shahih Bukhari 5338: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Zuhair telah menceritakan kepada kami Musa bin 'Uqbah dari Salim bin Abdullah dari Ayahnya radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Siapa yang menjulurkan pakaiannya (hingga ke bawah mata kaki) dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat kelak." Lalu Abu Bakar berkata; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu dari sarungku terkadang turun sendiri, kecuali jika aku selalu menjaganya?" lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong."
Musnad Ahmad 5927: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi telah memberitakan kepada kami Ismail yakni Ibnu Ja'far telah mengabarkan kepadaku Musa bin Uqbah dari Salim bin Abdillah bin Umar dari bapaknya, bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang menjulurkan (menyeret) kainnya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya kelak pada hari kiamat." Kemudian Abu Bakar berkata, "Salah satu dari ujung kainku selalu menjulur keculi jika saya selalu mengawasinya!." Nabi Shallallahu'alaihi wasallam lantas menjawab: "kamu bukanlah termasuk mereka yang berbuat demikian karena sombong." Telah menceritakan kepada kami Ali bin Ishaq telah mengabarkan kepada kami Abdullah telah mengabarkan kepada kami Musa bin Uqbah dari Salim bin Abdillah dari Abdullah bin Umar dia berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang menjulurkan kainnya karena sombong, Allah tidak melihatnya pada hari kiamat." Lalu ia pun menyebut makna semisal.
Sunan Abu Daud 3563: Telah menceritakan kepada kami An Nufail berkata, telah menceritakan kepada kami Zuhair berkata, telah menceritakan kepada kami Musa bin Uqbah dari Salim bin Abdullah dari Bapaknya ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa menjulurkan kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat." Abu Bakar berkata, "Sesungguhnya salah satu ujung pakaianku ada yang menjulur, padahal aku telah berjanji untuk tidak melakukannya!" beliau bersabda: " kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong."
Jadi kesimpulannya.... berpakaian non isbal pernah menjadi sunnah dimasa lalu ketika ber-isbal itu sendiri menjadi ciri dari kesombongan diri. Terlepas darinya maka ketika celana isbal menjadi suatu tradisi pada masyarakat lain diluarnya dan hal tersebut tidak disebut sebagai bagian dari kesombongan diri, maka status hukum dari isbal juga memungkinkan untuk berubah. Misalnya di Indonesia, dalam aktivitas keseharian orang rata-rata bercelana panjang isbal, menutup mata kaki, misalnya seragam kantor, pakaian adat maupun semisalnya.... dan pemakainya tidak dinisbatkan berlaku sombong, maka hemat saya tidaklah mengapa dan tidak pula bertentangan dengan nash-nash terkait isbal.
Musnad Ahmad 19718: Telah menceritakan kepada kami 'Affan, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Khalid Al Hadza` dari Abu Tamimah Al Hujaimi dari seorang yang berasal dari pendudukl Balhujaim, ia berkata; Aku bertanya; "Wahai Rasulullah, kepada siapakah engkau menyeru?." Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam menjawab: "Aku menyeru kepada Allah semata, Dzat yang apabila kamu terkena bencana lalu kamu memohon pada-Nya, maka Dia akan menjauhkanmu dari bencana tersebut, Dzat yang apabila kamu tersesat di suatu padang tandus, lalu kamu meminta-Nya, maka Dia akan menunjukimu, Dzat yang apabila kamu terkena paceklik, lalu kamu memohon kepada-Nya, maka Dia akan tumbuhkan tanaman-tanaman untukmu." Aku berkata; "Lalu wasiatkanlah untukku!." Beliau menjawab: "Janganlah kamu menghina seseorang dan jangan meremehkan kebaikan sedikit pun, walau dengan memberi senyuman kepada saudaramu bila bertemu, atau hanya dengan menuangkan ember airmu ke bejana orang yang membutuhkan air, dan bercelanalah setangah betis, bila kamu merasa enggan, maka (bercelanalah) hingga mata kaki. Janganlah engkau berbuat isbal karena isbal merupakan bagian dari kesombongan dan Allah membenci kesombongan."
Ulama’ Madzhab mengambil usul fiqh tersebut yang mengatakan bahwa dalil-dalil larangan isbal adalah global (muthlaq), sedangkan dalil global harus dibatasi oleh dalil yang spesifik (muqayyad). Jadi, secara global isbal memang dilarang yaitu haram, tetapi ada sebab (‘illat) yang men-taqyid-nya yaitu karena sombong (khuyala’).
(1/217), dan Al-Bayan, Abdul Hamid Hakim (3/75)].)
اَنَّ الْاَحَادِيْثَ الْمُطْلَقَةَ فِى الزَّجْرِ عَنِ الْاِسْبَالِ مُقَيَّدَةٌ بِالْاَحَادِيْثِ الْاُخْرَى الْمُصَرَّحَةِ بِمَنْ فَعَلَهُ خُيَلَاءَ
“Sesungguhnya hadits-hadits yang muthlaq yang melarang isbal hendaklah ditaqyidkan (terikat) dengan hadits-hadits yang lain yang menegaskan (sanksi itu) bagi orang yang melakukannya karena sombong” (Fathul bari : 10:365)
Saya tidak anti dengan celana non isbal. Malah jika anda bertemu saya diluar waktu kerja, seperti sedang membawakan ceramah, sedang berada dimasjid atau sesekali juga saat bepergian.... anda kemungkinan besar akan melihat saya mengenakan celana non isbal. Saya merasa nyaman-nyaman saja jika celana saya tidak “menyapu jalanan” dimana pada jalan itu mungkin saja ada bekas kotoran, najis atau bau. Sementara waktu sholat kita khan ada 5 waktu… dan kadang saya harus singgah dimana saja untuk menunaikan sholat tersebut. Tapi meski demikian, saya tetap tidak menganggap bercelana isbal juga terlarang. Sehingga mungkin disuatu pertemuan, anda akan melihat saya justru sedang bercelana jeans atau celana dasar biasa, misalnya ketika sedang dikantor atau sejumlah tempat lainnya. Menyiasati kemungkinan terkena najis atau kotorannya, ya saya lipat keatas mata kaki ketika hendak sholat.
Foto saya dengan celana non isbal
Saya selalu percaya bila agama bukanlah kumpulan doktrin yang tidak dapat dijelaskan. Setiap larangan dan perintah didalam agama pasti memiliki sebab musabab yang dapat kita pahami latar belakang timbulnya hal tersebut. Saya menolak beragama secara doktrinal sebab bagi saya, agama itu pasti selalu sejalan dengan akal sehat sehingga orang yang akalnya tidak waras tidaklah dibebani dengan kewajiban agama. Ya itulah salah satu latar belakang dari diangkatnya pena atas orang yang tidur, pingsan dan gila.
Saya tahu bila tulisan saya ini akan menuai pro dan kontra, baik dari pendukung maupun penolak pakaian isbal. Saya menganggapnya wajar-wajar saja. Itulah dinamika hidup. Tidak mungkin kita selamanya sepakat dari A sampai Z, bukan? Bagaimanapun, pemahaman saya berdiri diatas hujjah yang juga dapat dipertanggung jawabkan secara nash keagamaan. Sama seperti dulu saya membahas perihal hukum memelihara anjing.
Lihat disini: http://arsiparmansyah.wordpress.com/2011/10/20/hukum-memelihara-anjing/
Jika anda ingin beragama secara doktrinal.... itu adalah hak anda dan saya menghormatinya. Mudah-mudahan andapun dapat menghormati saya yang juga punya prinsip berbeda dengan cara anda memahami agama. Bijak sajalah memanajemen perbedaan.
O.Iya. Sebagai pelengkap bahasan tentang isbal ini saya juga ingin mengajak anda melihat pendapat para imam madzhab terkenal. Tulisan berikut ini saya ambil dari blognya Ust. Burhan Isroi, S.Pd.I
Dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih berkata:
قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ
“Berkata pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah, dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya: “Bukankah kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab: “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.” (Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mauqi’ Al Islam)
وَقَالَ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ رَحِمَهُمُ اللَّهُ
Dalam satu riwayat Hambal berkata: “Menjulurnya kain sarung, jika tidak dimaksudkan untuk sombong, maka tidak mengapa. Demikian ini merupakan zhahir perkataan lebih dari satu sahabat-sahabatnya” Disebutkan dalam riwayat lain bahwa Imam Ahmad juga mengharamkan (sumber: sama seperti diatas).
Sementara dalam Kasyaf Al Qina’ disebutkan:
وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ رَحِمَهُ اللَّهُ عَدَمَ تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِكَرَاهَةٍ وَلَا عَدَمِهَا
“Syaikh Taqiyyuddin Rahimahullah (maksudnya Ibnu Taimiyah) memilih untuk tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai perbuatan makruh, dan tidak pula mengingkarinya.”
Beliau berkata dalam kitab Syarhul ‘Umdah:
فأما أن كان على غير وجه الخيلاء بل كان على علة أو حاجة أو لم يقصد الخيلاء والتزين بطول الثوب ولا غير ذلك فعنه أنه لا بأس به وهو اختيار القاضي وغيره
“Ada pun jika memakainya tidak dengan cara sombong, tetapi karena ada sebab atau hajat (kebutuhan), atau tidak bermaksud sombong dan menghias dengan cara memanjangkan pakaian, dan tidak pula selain itu, maka itu tidak apa-apa. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Al Qadhi dan selainnya. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah, Hal. 361)
قال شيخ الإسلام في شرح العمدة (ص 366) : ولأن الأحاديث أكثرها مقيدة بالخيلاء فيحمل المطلق عليه وما سوى ذلك فهو باق على الإباحة وأحاديث النهي مبنية على الغالب والمظنة ”
Didalam syarah beliau untuk kitab Umdah al Fiqh hal 366 mengatakan, “Mengingat bahwa mayoritas dalil itu melarang isbal jika dengan kesombongan maka dalil yang melarang isbal secara mutlak itu kita maknai dengan isbal karena kesombongan. Sehingga isbal yang tanpa dorongan kesombongan itu tetap bertahan pada hukum asal berpakaian yaitu mubah. Jadi hadits-hadits yang melarang isbal itu didasari pertimbangan bahwa mayoritas lelaki yang isbal itu dikarenakan dorongan kesombongan”.
Berkata Imam Ali bin Ahmad Ash Sha’idi Al ‘Adawi
ثُمَّ أَقُولُ : وَعِبَارَةُ الْمُصَنِّفِ تَقْتَضِي أَنَّهُ يَجُوزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَجُرَّ ثَوْبَهُ أَوْ إزَارَهُ إذَا لَمْ يَقْصِدْ بِذَلِكَ كِبْرًا أَوْ عُجْبًا
Perkataan Al Mushannif (penyusun kitab Kifayatut Thalib, pen) menunjukkan kebolehan bagi laki-laki menjulurkan pakaiannya atau kain sarungnya jika dia tidak bermaksud sombong atau ‘ujub. (Hasyiyah Al ‘Adawi, 8/111. Mawqi’ Al Islam)
Disebutkan dalam Al Mausu’ah:
وَاخْتَلَفُوا فِي إِطَالَتِهَا إِلَى أَسْفَل مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنْ غَيْرِ كِبْرٍ وَلاَ اخْتِيَالٍ وَلاَ حَاجَةٍ : فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى الْكَرَاهَةِ التَّنْزِيهِيَّةِ
Mereka berbeda pendapat dalam hal memanjangkannya sampai melewati dua mata kaki dengan tanpa sombong dan tanpa kebutuhan: madzhab jumhur (mayoritas) adalah menyatakan sebagai makruh tanzih. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/170)
Dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Imam An Nawawi berkata:
وَأَنَّهُ لَا يَجُوز إِسْبَاله تَحْت الْكَعْبَيْنِ إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ، وَظَوَاهِر الْأَحَادِيث فِي تَقْيِيدهَا بِالْجَرِّ خُيَلَاء تَدُلّ عَلَى أَنَّ التَّحْرِيم مَخْصُوص بِالْخُيَلَاءِ
“Tidak boleh isbal di bawah mata kaki jika sombong, jika tidak sombong maka makruh(dibenci). Secara zhahir hadits-hadits yang ada memiliki pembatasan (taqyid) jika menjulurkan dengan sombong, itu menunjukkan bahwa pengharaman hanya khusus bagi yang sombong.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Kitab Al Libas Waz Zinah Bab Tahrim Jarr ats Tsaub wa Bayan Haddi maa Yajuz …, Juz. 7, Hal. 168, No hadits. 3887. Mawqi’ Ruh Al Islam)
وَقَالَ النَّوَوِيّ : الْإِسْبَال تَحْت الْكَعْبَيْنِ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ، وَهَكَذَا نَصَّ الشَّافِعِيّ عَلَى الْفَرْق بَيْن الْجَرّ لِلْخُيَلَاءِ وَلِغَيْرِ الْخُيَلَاء ، قَالَ : وَالْمُسْتَحَبّ أَنْ يَكُون الْإِزَار إِلَى نِصْف السَّاق وَالْجَائِز بِلَا كَرَاهَة مَا تَحْته إِلَى الْكَعْبَيْنِ ، وَمَا نَزَلَ عَنْ الْكَعْبَيْنِ مَمْنُوع مَنْع تَحْرِيم إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ وَإِلَّا فَمَنْع تَنْزِيه ، لِأَنَّ الْأَحَادِيث الْوَارِدَة فِي الزَّجْر عَنْ الْإِسْبَال مُطْلَقَة فَيَجِب تَقْيِيدهَا بِالْإِسْبَالِ لِلْخُيَلَاءِ اِنْتَهَى
Berkata An Nawawi: “Isbal dibawah mata kaki dengan sombong (haram hukumnya, pen), jika tidak sombong maka makruh. Demikian itu merupakan pendapat Asy Syafi’i tentang perbedaan antara menjulurkan pakaian dengan sombong dan tidak dengan sombong. Dia berkata: Disukai memakai kain sarung sampai setengah betis, dan boleh saja tanpa dimakruhkan jika dibawah betis sampai mata kaki, sedangkan di bawah mata kaki adalah dilarang dengan pelarangan haram jika karena sombong, jika tidak sombong maka itu tanzih. Karena hadits-hadits yang ada yang menyebutkan dosa besar bagi pelaku isbal adalah hadits mutlak (umum), maka wajib mentaqyidkan (mengkhususkan/membatasinya) hadits itu adalah karena isbal yang dimaksud jika disertai khuyala (sombong). (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 10, Hal. 263. Darul Fikri. Lihat juga Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Kitab Al Jami’ Bab Laa Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala’, Juz. 4, Hal. 158. Cet. 4, 1960M-1379H. Maktabah Mushtafa Al Baabi Al Halabi. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar Rukhshah fi Al Libas Al Hamil …, Juz. 2, Hal. 114. Maktabah Ad Da’wah )
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah
وَيُكْرَهُ إسْبَالُ الْقَمِيصِ وَالْإِزَارِ وَالسَّرَاوِيلِ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِرَفْعِ الْإِزَارِ . فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ الْخُيَلَاءِ حَرُمَ
“Dimakruhkan isbal (memanjangkan) gamis (baju kurung), kain sarung, dan celana panjang, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan menaikannya. Tetapi jika isbal dengan sombong maka haram.” (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, Al Fashlu Ats Tsalits Maa Yakrahu fi Ash Shalah, Juz. 3, Hal. 21)
Akhirnya sebagai penutup dari saya ....
Sunan Abu Daud 3567: Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Hannad -maksudnya Hannad bin As Sari- dari Abu Al Ahwash secara makna, dari Atha bin As Saib berkata; Musa berkata; dari Salman Al Aghar. Hannad berkata dari Al Aghar Abu Muslim dari Abu Hurairah. Hannad berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah Azza Wa Jalla berfirman: 'Kesombongan adalah selendang-Ku, kebesaran adalah sarung-Ku, barangsiapa mengambil salah satu dari keduanya dari-Ku, maka ia akan Aku lemparkan ke dalam neraka."
Bumi Palembang Darussalam.
01 September 2014
Mgs. Armansyah Sutan Sampono Azmatkhan
No comments:
Post a Comment