Tajdid itu ada dua, yaitu mengubah metodologi berpikir atau tajdid dalam kerangka metodologi yang sudah ada. Banyak orang yang tak kuat untuk berpikir dan menghadapi tantangan problematika modern terhadap agamanya lalu terjebak dalam ritual yang dipolakan sehingga menjadikan upacara keagamaan sebagai sesuatu yang sakral sebagai bentuk pelarian kelemahan akalnya. Muncullah tarekat dalam berbagai bentuk dan nama yang kemudian di istinbatkan kepada Rasul maupun sejumlah sahabat tertentunya. Padahal seringkali faktanya ritual keagamaan termasuk tarekat itu sendiri justru tidak pernah ada tuntunannya dari Rasul yang dalam hal ini berfungsi selaku media sumber dari segala sumber hukum Islam.
Orang lalu mematikan istilah fuqaha terhenti pada sosok Imam Nawawi atau para imam lain seangkatan beliau. Saat tema tajdid yang lebih luas diangkat menjadi sebuah isyu hangat, orangpun protes, siapa yang fuqaha, kita hanyalah muttafaqihun alias orang yang mencoba memahami fiqh, bukan fuqaha alias ahli fiqh. Lari dari tantangan jaman, menceburkan diri yang frustasi itu kedalam medan eskapisme. Merekapun sering membawa nama Imam al-Ghazali, padahal cuma aspek etiknya saja yang diambil sementara metode berpikir beliau yang menyeimbangkan intuisi dengan akal justru diabaikan.
Konsep tasawuf modern yang tetap bertujuan taqarub ilallah namun dengan cara exercise berpikir, lepas dari semua ritual klenik tanpa dasar dan tuntunan yang jelas dari Rasul kiranya harus terus digelorakan dan dipopulerkan melalui berbagai media.
Gerakan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, K.H. mas Mansur maupun Hasyim Asy'ari dimasa lalu pada hakekatnya bisa dipandang sebagai konsep modernisasi atau pembaharuan kerangka berpikir terhadap ushul fiqh dan qawaidul fiqh yang tidak berhenti pada aqwalul madzhaib (pendapat dari madzhab) namun menggali dari berbagai madzhab kemudian menukik pada dasar awal sumber hukumnya sendiri, al-Qur'an dan as-Sunnah. Tapi ya itulah tadi, masyarakat kita sudah kadung tercuci otak dengan cara berpikir yang stagnan, cari aman, gak usah neko-neko lalu mulai goyang badan kiri-kanan berlafaskan Allah-Allah terus merapat pada syekh anu, kyai anu, imam anu tanpa berani untuk menembus batasan sakral terkondisikan itu untuk membongkar asal-usul kebenaran ritualnya itu sendiri.
Saya tidak suka menggantungkan diri pada hal yang tidak jelas maupun semua serba praduga dengan alasan kepatuhan maupun penghormatan. Tapi bagi siapa yang menyukai jalan tersebut, itu sah-sah saja dan hak pribadinya sendiri. Saya lebih memilih jalan konfrontasi diatas nash yang jelas dan terang benderang, baik secara aqli maupun naqli.
#cuapcuappemikiranpribadiku
Status update FB-ku, 23 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment