Friday, March 6, 2015

Ahok versus Anggota Dewan (Refleksi diri)

Saya percaya banyak dari kita menyesalkan kejadian yang sekarang ini terjadi di ibu kota kita tercinta, Jakata. Khususnya terkait keributan antara pihak eksekutif dan legislatif. Lebih tegasnya Gubernur vs Anggota DPRD yang merupakan wakil rakyat. Tapi kejadian ini sendiri pada hakekatnya merupakan buntut panjang atas terpilihnya pasangan Jokowi-Ahok ketika pilkada lalu menjadi gubernur dan wakil gubernur.


Kala itu, banyak pihak terutama para ulama sudah memberikan wanti-wanti kepada rakyat untuk tidak memilih mereka. Memang pertimbangan ulama lebih kepada syari'at Islam yang secara tegas mengatur tentang haramnya bagi muslim memilih pemimpin dari kalangan non muslim. Sayangnya banyak masyarakat terpesona oleh pencitraan yang ditampilkan oleh duet maut tersebut kala itu. Sehingga nash agama yang harusnya menjadi tuntunan dalam kehidupan berbalik menjadi tontonan dan cibiran. Orang mengolok-olok aturan agama itu sebagai aturan yang kaku, berlebihan, kuno, diskriminasi dan sebagainya dan seterusnya. Padahal aturan tersebut turun dari Allah Azza Wajalla yang oleh orang beriman wajib untuk bersikap Sami'na wa-atho'na (kami dengar dan kami taat).


Saat hukum Allah dijadikan permainan, olokan dan juga hinaan maka tunggulah waktunya adzab dari sisi-Nya akan datang kepada mereka. Tentu adzab itu datangnya tidak harus selalu dalam bentuk tsunami, hujan meteor, gempa bumi dan lain sebagainya sebagaimana kebanyakan yang terjadi pada umat-umat terdahulu tatkala mereka menentang para Rasul Allah. Adzab yang muncul dapat saja berupa timbulnya aturan-aturan maupun kebijakan yang mempersempit ruang lingkup ibadah umat Islam, aturan perekonomian yang mencekik leher masyarakat melalui pembebanan kenaikan tarif ini dan itu yang menjadi kebutuhan primer hingga operasional kehidupan sehari-hari, misalnya penggusuran, larangan melintasi jalan-jalan tertentu bagi kendaraan roda dua, turunnya kualitas akhlak, menjamurnya kejahatan akibat hukum yang tidak tegas ditegakkan dan sebagainya.


Intinya, masyarakat akan merasa hidupnya sangat terjepit dan semakin terjepit dari hari ke hari. Rakyat mulai kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, kepalanya mulai dihantui dengan kewajiban untuk membayar berbagai iuran diakhir bulan yang terus menggelembung dan bak menjadi hantu menakutkan.


Akhirnya yang memilih maupun yang menolaknya dulu akan sama-sama kena imbas semua. Itulah sunnatullah yang sudah diceritakan oleh al-Qur'an jauh hari.


Kembali pada konflik antara eksekutif dan legislatif di Jakarta, sulit untuk mencari pihak yang betul-betul ada pada posisi benar dari sudut hukum negara. Semuanya seakan mencari pembenaran dirinya masing-masing. Perlu penegakan hukum yang adil dan tidak tebang pilih dalam kasus ini. Baik itu terhadap sang gubernur maupun kepada anggota DPRD yang memang terbukti bersalah.


Ucapan anjing kepada Ahok oleh salah seorang oknum anggota dewan, ditinjau dari sudut kacamata akhlak dan agama, jelas tidak dapat dibenarkan. Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk melakukannya. Begitupula jawaban balik dari Ahok bahwa daging anjing itu enak. Boleh jadi dari sudut kacamata Islam mungkin kita dapat menerimanya mengingat ahok adalah pemimpin kafir yang tidak mengimani ajaran Islam sehingga boleh jadi pergaulannya tidak didasari oleh petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Tetapi dari sudut etika dan moralitas umum, jelas ucapan demikian sangat tidak mendidik dan berkesan sebagai ucapan preman yang tidak mestinya keluar dari lisan seorang pejabat tinggi negara.


Marilah kita, khususnya bagi semua umat Islam, entah mereka yang duduk dikursi legislatif, eksekutif, yudikatif maupun sebagai rakyat biasa seperti saya, kita sama-sama mengedepankan akhlakuk karimah dalam menjalani proses hidup ini. Tunduk dan taatlah kepada aturan main agama bila itu sudah secara jelas disampaikan. Setiap tindakan kita, ucapan kita tentu akan dicatat oleh para malaikat dan kelak menjadi saksi bagi kita di hari akhir. Jangan sampai ketika berbangkit, kita justru menerima catatan amalan dari sisi sebelah kiri. Sebab artinya kita termasuk golongan orang celaka. Na'udzubillah.




Astagfirullaahal 'azhiim Alladzi laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum
wa atuubu ilaihi


Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah.
Allahumma antassalam, waminkas salam, tabarokta yaa zaljalalli wal ikromm


Allahumma anta robbi Laa ilaaha allaa anta kholaqtani
Wa anaa 'abduka wa anaa 'alaa 'ahdika wa wa'dika mas tatho'tu
A'uudzubika min syarrimaa shona'tu Abuu ulaka bini'matika 'alayya
Wa abuu u bidzambii fagfirlii
Fa innahu laa yagfirudz dzunuuba illa anta.


Ya Allah, Engkau Tuhanku, tiada Tuhan melainkan Engkau. Engkau zat yang
telah menciptakan aku, dan aku adalah hambaMu. Akupun dalam ketentuan
serta janjiMu semampu yang kami lakukan. Aku mohon perlindungan
kepadaMu dari kejahatan apa saja yang aku lakukan. Aku mengakui dengan
kenikmatan yang telah Engkau karuniakan kepadaku,dan juga aku mengakui
dosa-dosa yang aku kerjakan. Maka dari itu berikanlah pengampunan
kepadaku, karena sesungguhnya tidak ada yang sanggup memberikan
pengampunan selain dari Engkau sendiri.



Mohon maaf lahir batin.
Salam dari bumi Palembang Darussalam.
Jumu'ah, 06 Maret 2015


Armansyah Azmatkhan.

No comments:

Post a Comment