Cukup banyak sahabat yang bertanya kepada saya terkait dengan niat. Apakah niat itu sebaiknya dilafadzkan atau tidak. Entah itu niat untuk sholat ataupun seperti contohnya kita hendak berpuasa Romadhon seperti sekarang ini. Misalnya saja lafadz Usholli fardhol asri arba'a roka'atin... Nawaitu sauma ghodin an ada-i fardi syahri romadhona hazihis sanati lillahi taala.... Nawaitu wudhu’a lirof’il hadatsi... dan seterusnya.
Saya jawab bahwa saya pribadi tidak pernah mengamalkan niat dalam bentuk lafadz ucapan tertentu terhadap aktivitas tersebut diatas sebagaimana jamak dimasyarakat. Bahkan saya "tidak hafal" dengan seluruh lafadz niat tersebut sejak kecil. Namun saya menghormati orang yang mengamalkannya sesuai dengan pegangan fiqhnya masing-masing.
Buat saya tak ada masalah bermakmuman atau berimaman dengan orang yang mengamalkan lafadz niat ataupun tidak, meskipun saya pribadi sekali lagi tidak mengamalkannya. Tidak menjadi batal sholat bermakmuman atau berimaman dengan orang-orang yang mengamalkan pelafadzan niat. Hukum melafadzkan niat itu sendiri ditinjau dari rukun Sholat maka hukumnya mubah.
Bagaimanapun saya yang faqir ini tidak atau belum pernah menemukan adanya nash yang shohih bersumber dari Rasulullah SAW atau para Khalifahnya yang mengamalkan niat semacam itu. Jadi, biarlah saya menjalani apa yang saya yakini dengan mencontoh Rasulullah dan silahkan anda-anda mengamalkan apa yang anda yakini terkait perkara pelafadzan niat ini.
Berbicara tentang niat, ia merupakan landasan moral dari sebuat perbuatan, karena niat akan menentukan value atau nilai baik atau buruk dan diterima atau ditolaknya suatu perbuatan. Niat merupakan dasar dan bentuk bagi sebuah perbuatan yang mana perbuatan itu sendiri adalah isi atau implementasi dari niat.
Dalam ilmu fiqh adalah kaidah Qoshdu al-syai’ muqtarinan bi fi'lihi, adanya kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan kesadaran penuh (consiousnes).
Sebagai contohnya, kita mengambil sebuah gelas berisi air yang penuh dan rata sampai dibibir gelasnya lalu berjalan dengan memegang gelas itu sepanjang seratus meter dari titik awal seraya menjaganya dengan sangat hati-hati sekali agar airnya tidak tumpah sedikitpun.
Pada contoh diatas kita akan merasakan bagaimana tubuh turut bekerja bersamaan dengan kesadaran kita untuk mengontrol air didalam gelas tadi untuk tidak tertumpah meskipun dibawa sambil berjalan. Mungkin selama kita berjalan tadi, mata kita tidak akan pernah lepas dari pandangan kearah gelas dan airnya. Meskipun suasana hiruk pikuk disekitar kita tetapi sebisanya kita mengabaikan suasa tersebut agar tetap dapat fokus dalam kesadaran menjaga air didalam gelas. Jika kesadaran kita tadi hilang fokusnya maka air tersebut sangat boleh jadi akan tumpah.
Nah, inilah sebenarnya niat. Ia bukan sekedar bacaan atau lafadz tertentu akan tetapi lebih kepada suatu perbuatan yang didalamnya terdapat kesadaran penuh yang mengalir. Saat kita hendak melakukan sholat, puasa, dzakat, haji dan sebagainya bila kesadaran itu melenceng atau hilang arah sehingga akhirnya ingin dilihat oleh orang lain dan disebut alim maka itulah riya', artinya air yang kita bawa tadi tumpah akibat kegagalan kita untuk berfokus terhadap kesadaran menjaganya.
Kepala kita sujud tapi pikiran tidak ikut bersujud, kita berpuasa tetapi pikiran, lisan atau kaki tangan kita tidak ikut berpuasa.
Fawailul lil mushollin, Al ladziinahum 'an sholaatihim sahuun; Al ladziina hum yuroo-uun | Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya.
Semoga bermanfaat.
Salam dari Palembang Darussalam.
Mohon maaf lahir dan batin, selamat menunaikan ibadah puasa Romadhon. Taqobbalallahu minna waminkum shiyamana wa shiyamakum.
02 Romadhon 1436H
Armansyah.
No comments:
Post a Comment