Thursday, July 24, 2014

Antara Dakwah Verbal dan Jurnalistik

Dakwah verbal atau bil lisan seharusnya untuk materi yang sifatnya umum saja, hal ini karena dakwah bil lisan tadi biasanya dibatasi oleh waktu, apalagi jika dibuka sesi tanya jawab interaktif. Sebisanya seorang muballigh tidak menggunakan bahasa atau istilah yang justru akan membuat audien bingung maupun salah menafsirkan maksud yang hendak disampaikan. Jika sebuah logika pemikiran tidak begitu urgen untuk dibantah ya biarkan saja, kecuali bila hal tersebut sudah benar-benar bersifat batil dari sudut kaca mata tauhid.


Tantangan dakwah verbal adalah penguasaan jemaah. Fokus pada konteks utama bahasan serta pengendalian diri. Tidak jarang seorang muballigh tidak mampu membaca emosi audien sehingga terjadi gagal tabligh. Dakwah justru memantik perselisihan, fitnah dan kebencian. Topik utama yang menjadi tema penyampaian justru melebar kemana-mana hingga kadang sang muballigh sendiri lupa tujuan utama dakwahnya. Lebih celaka lagi bila sampai seorang muballigh justru terpancing untuk bersikap anarkis sehingga tidak lagi menjadi uswatun hasanah.



Itulah sebabnya para ulama klasik menyukai dunia jurnalistik, mereka tidak sekedar dakwah bil lisan namun juga bertabligh melalui tulisan (dakwah bil qolam). Dengan tulisan, seorang muballigh lebih bebas menyampaikan argumen dan ilmunya kepada publik. Ia tidak dibatasi oleh waktu maupun desakan pertanyaan. Tidak jarang kita temukan buku-buku mereka itu terdiri sampai berjilid-jilid saking luasnya pembahasan suatu persoalan.


Lihat misalnya Imam al-Ghozali, Ibnu Katsir dan seterusnya. Saya berani berspekulasi bahwa bila para ulama klasik kita itu hidup dijaman sekarang, mereka pasti tidak ketinggalan menulis di berbagai koran, blog dan status-status media sosial.


Palembang, 15 Juli 2014

Mgs Armansyah

No comments:

Post a Comment