Seri Tauhid dan Logika Kristologi.
"Rasa dan Periksa"
Oleh. Armansyah
Penulis Buku "Rekonstruksi Sejarah Isa al-Masih" dan "Jejak Nabi Palsu"
Pada posting Seri Tauhid dan Logika Kristologi berjudul "Mengenal Mukjizat para Nabi dan Rasul" kita telah sempat membahas bahwa dalam memperkuat hujjah dakwah mereka ditengah umat, para Nabi dan Rasul dibekali dengan kelebihan khusus yang sifatnya menakjubkan dan sulit ditandingi oleh kaum mereka. Kelebihan tersebut berupa mukjizat yang datang dari sisi Allah.
Nah, kali ini kita akan sedikit meluaskan bahasan tersebut dengan mengkaji dari sudut logikanya melalui konsep "Rasa dan Periksa".
Disepanjang jaman, termasuklah dijaman kita sekarang ini, banyak orang yang beragama hanya dengan bermodalkan rasa. Ada yang puas dengan beragama secara doktrinal. Apa pelajaran yang ia dapatkan sejak kecil dari lingkungannya (mulai dari orang tua, guru, masyarakat, media) dianggap sebagai kebenaran tunggal. Pelaku doktrinal ini
kadangkala membahayakan orang lain dengan cara ia beragama tersebut. Dia akan cenderung memandang orang lain yang berseberangan paham dengan ilmunya pasti salah. Dia akan memusatkan dirinya dan ilmunya sebagai sumber kebenaran tunggal. Orang-orang doktrinal ini sering menutup mata terhadap argumentasi orang lain yang menyelisihinya meskipun kadang pula pemahaman orang tersebut justru benar dan pemahaman pelaku doktrinal inilah yang mesti dikoreksi.
Misalnya kita ambil contoh mereka yang tenggelam dalam "Islam tradisi" yang sering mencampur adukkan antara kebenaran ajaran agama dengan kebudayaan lokal serta menganggap hal yang demikian sebagai sesuatu yang harus dipahami dan diterima menjadi sebuah kebenaran tanpa berani mengkritisi tradisi itu dari sudut benar-salah hingga adat yang dapat dipikir secara akal sehat (logika) atau kultur yang justru harus dirubah sesuai dengan konsep syari'at.
Beragama dengan rasa-rasa sangatlah membahayakan karena kita tidak punya standar dalam memegang kebenaran itu sendiri. Kita hanya mengandalkan rasa benar, rasa nyaman, rasa tenang, rasa bahagia dan seterusnya. Padahal kita tidak tahu apakah memang yang dirasa benar itu sesungguhnya memanglah benar atau justru sekedar rasa-rasa kita saja yang menyesatkan? Kita juga tidak tahu apakah kenyamanan yang kita rasakan itu apakah benar nyaman yang sesungguhnya atau justru kenyamanan yang terbentuk karena kita sekedar ingin melindungi kepercayaan yang mulai goyah dengan mencari pembenaran melalui perasaan nyaman yang palsu pada orang-orang yang dianggapnya juga sepaham dengan dia. Wallahua'lam. Setiap orang tentu tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya masing-masing.
Ada lagi orang yang beragama secara rasa melalui pengalaman spiritualnya tertentu. Misalnya ada seseorang atau sekelompok orang yang memberikan kesaksian-kesaksian bila ia bertemu dengan yesus, Budha, Muhammad dan seterusnya didalam mimpi ataupun misalnya dalam keadaan "trance" tertentu dan sipelakunya langsung menghujjahkan bila itu merupakan suatu kebenaran yang harus diakui.
Padahal, mohon maaf saja jika ada yang tersinggung. Apa sih yang mau didebatkan dari ilusi, mimpi atau hal-hal mistis orang-orang semacam ini ? Standarisasi benar-salahnya apa ? siapapun bisa bermimpi, siapapun bisa ber-ilusi, siapapun bisa memiliki pengalaman mistisnya masing-masing yang sangat pasti berbeda setiap orang.
Pengikut budha ya kemungkinan punya pengalaman mistis bersama budhanya, hindu ya bersama kehinduannya, sufi ya bersama murabbinya kristen bersama yesusnya, Islam bersama Muhammadnya dan lain sebagainya.
Jika semua punya pengalaman seperti itu secara berbeda-beda, maka tentu kesimpulan logisnya hanya ada 2. Yaitu salah satu diantaranya pasti benar atau semuanya justru tidak ada yang benar alias salah semua. Namanya mimpi, ilusi atau trance ya dapat saja saya katakan semua pertemuan itu cuma khayalan saja atau jika bukan khayalan maka itu pasti ulah setan yang sedang berusaha menyesatkan manusia dengan cara menyaru dirinya sebagai yesus, budha, Muhammad atau lainnya.
Saya sendiri punya pengalaman spiritual seperti pernah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad dua kali, saya juga pernah bermimpi diajak terbang ke Mekkah dan Madinah ... serta banyak pengalaman non empiris yang non mimpi lainnya yang berkaitan dengan ke-Islaman. Apakah sekali lagi hal ini memberi pengaruh pada diri orang-orang kristiani, orang budha atau orang hindhu? Apakah mereka bisa mengakui pengalaman spiritual saya sebagai klaim dari kebenaran Islam dan membuat iman mereka sebagai orang non muslim lalu harus tergoncang ?
Itulah jika kita beragama secara rasa-rasa.... tak ada standar baku yang dapat dijadikan pegangan. Semua ya rasa-rasa.
Begitulah dengan para utusan Tuhan yang telah mengklaim dirinya sebagai Nabi yang diutus kepada manusia. Tuhan mengirim kepada manusia utusan yang dilengkapi dengan tanda-tanda yang cuma bisa berasal dari Tuhan. Dari tanda-tanda itulah manusia bisa tahu bahwa utusan tadi memang bisa dipercaya untuk menyampaikan hal-hal yang sebelumnya tidak mungkin diketahuinya dari sekedar mengamati alam semesta ataupun merasa-rasa saja. Karena itu perhatian yang akan kita curahkan adalah menguji, apakah tanda-tanda utusan tadi memang autentik (asli) atau tidak.
Pengujian autentitas inilah yang sangat penting sebelum kita bisa mempercayai hal-hal yang nantinya hanyalah konsekuensi logis saja. Ibarat seorang ahli listrik yang bertugas ke lapangan, tentunya ia telah menguji avometernya, dan ia telah yakin, bahwa avometer itu bekerja dengan benar pada laboratorium ujinya, sehingga bila dilapangan ia dapatkan hasil ukur yang sepintas tidak bisa dijelaskanpun, dia harus percaya alat itu. Seorang fisikawan adalah seorang manusia biasa, yang dengan matanya tak mungkin melihat atom. Tapi bila ia yakin pada instrumentasinya, maka ia harus menerima apa adanya, bila instrumen tersebut mengabarkan jumlah radiasi yang melebihi batas, sehingga misalnya reaktor nuklirnya harus segera dimatikan dulu.
Karena yakin akan autentitas peralatannya, seorang astronom percaya adanya galaksi, tanpa perlu terbang ke ruang angkasa, seorang geolog percaya adanya minyak di kedalaman 2000 meter, tanpa harus masuk sendiri ke dalam bumi, dan seorang biolog percaya adanya dinosaurus, tanpa harus pergi ke zaman purba.
Keyakinan pada autentitas inilah yang disebut "iman". Sebenarnya tak ada bedanya, antara "iman" pada autentitas tanda-tanda utusan Tuhan, dengan "iman"-nya seorang fisikawan pada instrumennya. Semuanya bisa diuji. Karena bila di dunia fisika ada alat yang bekerjanya tidak stabil sehingga tidak bisa dipercaya, ada pula orang yang mengaku utusan Tuhan tapi tanda-tanda yang dibawanya tidak kuat, sehingga tidak pula bisa dipercaya. Semua orang khan dapat saja mengaku-aku sebagai nabi, sebagai rasul bahkan sebagai tuhan sekalipun. Tinggal kitanya saja lagi mau bagaimana.... Sekedar merasa-rasa atau juga akan melibatkan periksa?
Saya sangat memberi apresiasi pada para mualaf yang telah berhijrah dari kekafirannya kedalam Islam melalui jalan pemikiran yang sehat. Melalui studi ilmu tertentu. Ya karena mereka sudah berani melakukan periksa terhadap rasanya sendiri.
Kita mungkin sebagian besar beragama karena faktor keturunan, oleh sebab orang tua kita muslim maka kita menjadi muslim begitu juga lainnya. Tetapi apakah kita sudah melakukan rasa dan periksa untuk membuktikan kebenaran iman kita? atau kita lebih banyak mencukupkan saja dengan bermain di area rasa merasa saja?
Salam dari Palembang Darussalam.
InsyaAllah kita sambung lagi pada seri tulisan Tauhid dan Logika Kristologi selanjutnya.
Armansyah
Penulis Buku: Rekonstruksi Sejarah Isa al-Masih, Jejak Nabi Palsu, Ramalan Imam Mahdi, Misteri Kecerdasan Syahadat dan Israk Mikraj
Diposting pertamakali di Timeline Facebook pribadi saya, 20 Des 2014