Antara Aceh, Timor-Timur dan Papua
Oleh : Armansyah
2 dari 2 tulisan
Diposting di TL FB, 06 Des 2014
Sikap rakyat dan tokoh-tokoh Aceh yang awalnya gigih untuk membebaskan diri dari NKRI melalui GAM yang pada akhirnya menerima kesepakatan bersama dengan pemerintah NKRI tidak dapat dilepaskan dari contoh yang pernah dilakukan oleh junjungan utama mereka dalam beragama, yaitu insan mulia yang bernama Muhammad ibni Abdillah, Rasul Allah.
Dulu, pada tahun 628 M, Rasul yang mulia ini pernah memberikan keteladanan politik melalui perjanjian Hudaybiah dengan kaum kafir Quraisy. Sebuah kesepakatan perdamaian yang sebenarnya tidak adil untuk kaum muslimin dan cenderung merugikan mereka. Tidak sedikit sahabat yang merasa tidak puas dengan perjanjian yang disetujui oleh Nabi kala itu, tetapi kesepakatan itu terus berjalan meski Beliau SAW sadar betul atas seluruh konsekwensi yang akan dihadapinya.
Kejadian ini merupakan perdamaian Islam pertama yang ditulis dengan tinta emas dalam torehan sejarah. Terbukti kemudian, strategi politik yang digunakan oleh Rasulullah dalam menerima perdamaian yang berat sebelah itu pada akhirnya mampu menghasilkan pertambahan kesadaran kaum kafir terhadap kesalahan mereka sehingga berbalik arah menjadi pendukungnya. Atas kejadian-kejadian ini timbullah pengkhianatan dari kaum Quraisy yang mendapat dukungan dari kaum Yahudi sehingga kemudian terjadilah Fathul Mekkah dua tahun setelahnya, yaitu 630 M. Kota Mekkah berhasil ditundukkan dibawah kekuatan Islam tanpa pertumpahan darah.
Belajar dari kejadian tersebut maka umat Islam dinegeri ini, bukan tidak mungkin untuk melakukan hal yang sama sebagai bagian dari tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam proses penaklukkan NKRI kedalam wadah syari'ah sebagaimana Mekkah dijaman itu. Kejadian Aceh bukanlah kejadian pertama dalam sejarah bangsa ini dimana umat Islam menunjukkan kesetiaan serta penghormatan mereka pada nilai-nilai kemanusiaan dan kenegaraan berdasar asas mufakat.
Saat Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto di pertengahan tahun 80-an memaksakan ideologi Pancasila sebagai ideologi tunggal dalam bernegara, berorganisasi dan berserikat, meski diawali dengan sikap pemberontakan serta perdebatan dikalangan para cendikiawan muslim yang hidup pada masa itu tetapi akhirnya dengan alasan yang sama pula, umat Islam bersedia menerima tawaran dari pemerintah. Hal yang sama juga terjadi ketika terjadi pemaksaan fusi partai-partai eks Masyumi kedalam wadah PPP.
Terlepas dari semuanya, saat ini kita sebagai bangsa tengah menghadapi berbagai gejolak yang tidak sederhana. Terkadang apa yang kita sepakati dimasa lalu dapat saja ditinjau ulang dan dirubah apabila hal tersebut sudah tidak lagi memungkinkan untuk diterapkan dimasa sekarang ini. Dunia terus berubah, kondisi juga ikut berubah. Tidak ada hal yang stagnan dalam hidup ini karena memang hidup adalah suatu dinamika yang terus bergerak maju dan berubah-ubah.
NKRI terus diambang perpecahan dari waktu kewaktu. Pasca bebasnya Timor-Timur dijaman pemerintahan Presiden Habibie, sekarang giliran Papua yang menuntut kebebasan serupa. Perlu ada sikap yang tegas dalam penanganan masalah pemberontakan ini. Baik pendekatan diplomasi atau juga melalui pendekatan kekuatan Militer.
Tidak ada negara lain yang berhak mendikte kedaulatan NKRI, termasuk Amerika dan PBB sekalipun. Jika dulu Presiden Soekarno pernah memproklamirkan slogan "Ganyang Malaysia" yang notabene masih bersaudara dengan Indonesia dalam rumpun melayu dan Islam, maka jika hari ini Amerika atau sekutunya bermaksud untuk ikut campur dalam urusan rumah tangga NKRI, harusnya Presiden Joko Widodo yang terangkat secara politik dari Partai besutan anaknya Soekarno juga dapat memproklamirkan hal serupa pada Amerika atau sekutu-sekutunya. "Kita Ganyang Amerika"!
Pilihan referendum pada masyarakat Papua bukanlah jalan keluar dalam menjaga keutuhan NKRI. Kita perlu belajar dari sejarah lepasnya Timor-Timur. Pemerintah setidaknya punya sejumlah solusi untuk memecahkan kemelut Papua pada hari ini jika tidak ingin mengadakan operasi Militer disana secara besar-besaran. Diantaranya adalah menawarkan otonomi khusus atau mungkin juga pemberlakuan daerah khusus pada Papua sebagaimana terjadi pada Aceh dan Yogyakarta.
Disatu sisi lain, mungkin bentuk negara kesatuan yang merujuk pada jenis Republik di Indonesia ini dapat saja ditinjau ulang. Toh tidak ada yang abadi dan betul-betul sakral dalam kehidupan ini. Hanya kematian saja yang tak dapat kita rubah atau kita mundurkan waktunya. Selain itu segala hal dimungkinkan untuk terjadi. Sebagai bangsa, kita dapat kembali membentuk federasi seperti dulu pernah terwujud pada 1949 dengan sejumlah perbaikan yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing pada jaman ini.
Selain itu, opsi khilafah bagi umat Islam juga merupakan opsi yang menarik dan menjadi kebutuhan tersendiri bila kita melihat dari sudut kacamata fiqh dan nurbuat Rasulullah. Saya percaya teman-teman dari HTI sudah punya cetak biru yang jelas terkait dari konsep khilafah ini. Tinggal kita duduk bersama saja lagi dan membahas hal-hal yang dapat dibicarakan terkait pendirian khilafah di Republik Indonesia.
Toh ini hanya perspektif seorang anak bangsa saja yang boleh dikatakan sedang galau melihat berbagai perkembangan di negaranya. Sebagai seorang Muslim, tentu harapannya adalah sama, yaitu ingin menegakkan syari'at Islam pada seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bertanah air serta pribadi sehingga kita semua dapat menjadi insan-insan kaffah dalam beragama. Tetapi bila kemudian masih harus melewati jalanan terjal berbelok dengan pemerintah yang bersifat taghut maka tetap jadi keniscayaan tersendiri bagi umat Islam untuk dapat duduk dan berunding memikirkan kemaslahatan umat secara lebih besar.
Kembali kepada kasus Papua... kita do'akan pemerintah dapat menyelesaikan permasalahan ini dengan baik sehingga Pancasila dan nasionalisme yang sering dijadikan jargon-jargon saat kampanye politiknya dulu benar-benar direalisasikan, bukan malah pada akhirnya berkata : #bukanurusansaya
Palembang Darussalam, 06 Des 2014
Armansyah
No comments:
Post a Comment