Seri Tauhid dan Logika Kristologi.
"Antara Wahyu dan kitab suci"
Oleh. Armansyah
Penulis Buku "Rekonstruksi Sejarah Isa al-Masih" dan "Jejak Nabi Palsu"
Selain membekali para Nabi dan Rasul dengan mukjizat tertentu sebagai hujjah mereka dalam bertabligh ditengah umatnya, Allah juga menurunkan wahyu yang berupa kabar, petunjuk serta ajaran terkait proses perjalanan hidup manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya maupun terhadap sang penciptanya.
Dalam sejarah kenabian al-Qur'an, kita mengenal adanya 4 istilah yang sering dikategorikan sebagai nama dari wahyu Allah pada Nabi dan Rasul tertentu. Yaitu, Taurat yang merupakan wahyu Allah kepada Nabi Musa, Zabur yang turun kepada Nabi Daud, Injil sebagai nama wahyu yang diturunkan kepada Nabi Isa serta al-Qur'an untuk nama wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW.
Taurat menjadi wahyu yang besar peranannya dalam proses karya penyelamatan para Nabi-nabi ditengah bangsa Israel. Ia menjadi induk ajaran yang dipatuhi oleh seluruh generasi kenabian bangsa tersebut sesudah berlalunya masa kenabian Musa hingga sampai kepada lahirnya Nabi Isa dengan berbekal Injilnya.
Zabur yang oleh sebagian besar ulama dianggap sebagai kitab suci yang turun kepada Nabi Daud, juga tidak merubah hal kecil apapun dari ajaran Taurat. Bahkan bila kita mengacu pada kitab Perjanjian Lama, maka jika Zabur dipersepsikan sebagai Mazmur, konten didalamnya lebih banyak seperti kidung atau prosa pujian kepada Allah ketimbang sebuah kitab berisikan ajaran alias syari'at.
Ketika Injil turun kepada Nabi Isa 'alayhissalam, maka ada sejumlah larangan yang pernah diberlakukan kepada bani Israil didalam Taurat di cabut. Hal ini sesuai pula dengan perubahan keadaan jaman dari kenabian Musa dan kenabian Isa al-Masih. Lamanya jarak antara masa Musa ke masa Isa tentu saja merubah banyak hal pada keseharian bani Israil sehingga akan logis pula bila terjadi perubahan hukum ditengah mereka. Bagaimanapun, syari'at Musa hingga Isa hanya khusus berlaku untuk kalangan bani israil saja alias wahyunya bersifat lokal dan terbatas.
Setelah diutusnya Rasulullah Muhammad, maka semua wahyu yang pernah diturunkan kepada para Nabi dan Rasul sebelum beliau, termasuklah didalamnya wahyu-wahyu kepada bani Israil maupun wahyu-wahyu yang turun kepada para Rasul diluar bangsa ini yang namanya tidak seluruhnya tercantum dalam al-Qur'an menjadi putus dan tidak berlaku lagi. Hal ini karena wahyu al-Qur'an tidak lagi berciri kedaerahan tetapi bersifat universal. Mencakup seluruh wilayah dan bangsa dibumi ini.
Sifat universalitas al-Qur'an dapat dipahami dari sudut kacamata sejarah wahyu sebelumnya yang telah banyak mengalami distorsi tangan manusia sehingga tidak lagi jelas mana ajaran yang betul-betul wahyu dari Allah dan mana yang sudah dirombak oleh manusia. Orang-orang yang dianggap sebagai guru spiritual umat diluar para Nabi dan Rasul, telah banyak menyimpangkan ajaran Tuhan untuk kepentingan mereka pribadi.
Dari sudut kacamata Islam, apa yang hari ini disebut sebagai Perjanjian Lama dengan seluruh kitab-kitab didalamya bukanlah Taurat ataupun Zabur yang dulu pernah diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi Daud. Begitupula halnya dengan Injil yang saat ini termaktub dalam Perjanjian Baru. Ia bukanlah wahyu yang dulu turun pada Nabi Isa 'alayhissalam.
Injil-injil yang dinisbahkan pada Nabi Isa saat ini adalah karangan-karangan manusia lain diluar Isa yang ditulis berdasarkan cerita verbal dimasyarakat kala itu. Oleh sebab itu jumlah kitab yang disebut Injil ada banyak sekali jumlahnya. Diantara jumlah itu tersebutlah 4 kitab yang diakui oleh pihak gereja trinitas dan disebut sebagai kanonikal. Sementara kitab-kitab Injil lain diluarnya disebut sebagai kitab Injil Apokripa dan pernah terlarang oleh gereja untuk dibaca oleh umum pada masa dahulu. Sebut saja misalnya yang sekarang kita kenal dengan nama Gospel of Mary, Gospel of Judas, Protoevangelium Jacobus dan sebagainya.
Dijaman sekarang, penyelidikan terhadap validitas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai sebuah kitab yang diklaim berasal dari Tuhan telah banyak digugat oleh para sarjana biblika sendiri. Yaitu orang-orang terpelajar yang secara khusus membidani ilmu kitab suci. Maka seperti kita lihat dalam sejarah muncullah kaum protestan yang menolak sejumlah kitab dalam Perjanjian lama yang disebut sebagai Deuterokanonika karena dianggap tidak otentik alias palsu.
Ada pula Jesus Seminar pada 1985 dibawah pimpinan Robert Funk yang bertujuan secara khusus untuk menelaah jumlah keaslian ucapan Isa didalam ke-4 Injil Kanonik. Kemudian yang juga sempat mengguncangkan selain Jesus Seminar adalah penelitian dari Bart D. Ehrman, seorang Profesor Perjanjian Baru yang menyatakan dalam bukunya berjudul "Misquoting Jesus" bahwa Perjanjian Baru bukanlah bentuk murni wahyu tanpa adanya distorsi dalam hal penulisannya seperti yang diasumsikan banyak orang selama ini.
Menariknya, penelitian-penelitian itu meski tidak ada kaitan apapun terhadap doktrin Islam, secara tidak langsung justru membenarkan pernyataan al-Qur'an sendiri tentang status originalitas kitab-kitab masa lalu tersebut terhadap manusia.
Salam dari Palembang Darussalam.
InsyaAllah bersambung pada kajian Kristologi Tauhid dan Logika selanjutnya.
Diposting pertama kali di Timeline Facebook pribadi saya, 17 Desember 2014
Armansyah.
No comments:
Post a Comment