Tadi dijalan saya melihat ada truk yang sedang menurunkan koral dari dalam baknya disalah satu tempat usaha. Saya jadi ingat masa kecil saya yang dilewati dengan pelajaran berharga. Dulu, selepas pensiun dari militernya (almarhum orang tua saya juga adalah veteran perang), ayah membuka usaha toko penjualan minyak dalam jumlah besar, kemudian toko ini berubah menjadi toko yang menjual bahan bangunan seperti pasir, koral, loster, semen, batu bata, besi, paku, gorong-gorong dan lain sebagainya. Salah satu toko bahan bangunan yang bisa dibilang cukup besar dan terkenal waktu itu dikisaran Jalan Jendral Sudirman, orang sering menyebutnya dengan istilah "toko pak Haji Umar" walaupun nama asli toko tersebut adalah "Purba Jaya". Ini era 80-an. Meski demikian, kami cuma punya 2 karyawan. 1 diantaranya merangkap sebagai sopir untuk mengangkut bahan bangunan di mobil L300 kami. Inipun bila ia sakit atau tidak masuk kerja, almarhum ayah saya sendiri yang menjalankan mobil tersebut.
Almarhum ayah sering mengajak saya ikut menemaninya berjualan. Bukan hanya duduk manis saja menjaga toko, tapi saya sering dilibatkan dalam proses melayani pembeli. Almarhum sendiri juga terjun langsung kelapangan, ikut mengangkat semen, menyekop pasir, koral dan sebagainya.
Begitulah, tangan saya sering kotor karena menimbang paku, menimbang semen kiloan. Badanpun sering terasa seperti remuk redam saat ikut membantu mengangkat sak semen, menyekopi pasir, koral dan mengangkat batu bata. Sebagai remaja, saya akui saya juga dulu sering mengeluh. Saat disuruh menyapu pekarangan toko kami, saya sering malu karena dilihat oleh orang-orang yang lalu lalang. Saya ingat persis kata-kata almarhum sewaktu menegur saya: Kita ini jualan yang halal agar bisa tetap hidup, bisa bayar sekolah, bisa makan. Kenapa harus malu? (ah, saya sendiri bergetar saat menulis kalimat ini seraya mengenang mimik muka dan suara almarhum ketika itu).
Yah, lepas dari ini semua, saya sadar bahwa apa yang diajarkan oleh almarhum ayah saya pada dasarnya juga untuk kebaikan saya sendiri dimasa depannya. Setidaknya saya sangat tahu susahnya mendapatkan uang Rp. 100,-. Harus bersimbah keringat dan kadang tanganpun mesti terluka terkena paku saat menimbang atau terjepit batu bata saat mengangkatnya kegerobak atau mobil. Saya tahu rasanya jadi orang yang berjibaku untuk mendapat uang.
Ini sedikit cerita dari saya, siapa tahu ada hikmahnya juga untuk para sahabat maya saya dalam memaknai hidup ini secara lebih berarti, sekaligus mengurai kembali masa lalu saya untuk proses pelembutan hati secara pribadi. Maaf, bila tidak berkenan dengan cerita ini.
Status FB, 18 Des 2013