Nikah Mut'ah atau pernikahan yang dibatasi oleh waktu tertentu atau juga istilah sederhananya kawin kontrak telah menuai banyak konflik dan problema dikalangan masyarakat Muslim. Ada diantaranya berpendapat boleh dan yang lain menyatakannya sebagai haram. Bahkan, ada yang menyebut nikah Mut'ah lebih baik dan lebih mulia daripada berzinah.
Ada pula yang menyebut nikah Mut'ah sama seperti berzinah sementara pihak lainnya yang pro pada nikah mut'ah telah membantah dengan argumen bahwa artinya Rasul pernah melegalkan perzinahan dikalangan umatnya?
Pada tulisan kali ini, saya hendak mengajak kaum muslimin melihat kasus ini secara akal sehat dan meninjaunya dari sudut kacamata nash-nash agama, diluar dari konteks pemahaman atau intervensi pendapat siapapun, termasuk para ulama dan imam madzhab itu sendiri?
Sahabat Muslim, secara akal sehat saja, sebuah mahligai pernikahan itu seyogyanya dibangun atas dasar yang teguh, misalnya untuk berketurunan, membina rumah tangga yang ideal dimana fitahnya manusia untuk saling berkasih-kasihan dalam pengertian yang luas, bukan atas asas pemuasan nafsu birahi semata. Pernikahan adalah aqad untuk meniti hari-hari dalam kebersamaan, aqad untuk saling melindungi, aqad untuk saling memberikan rasa aman, aqad untuk saling mempercayai, aqad untuk saling menutupi aib, aqad untuk saling mencurahkan perasaan dan salah satu jalan bagi pencarian ketenangan diri didalam menghadapi proses hidup dan kehidupan yang keras.
Olehnya Allah berfirman didalam al-Qur'an:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Surah Ar-Rum ayat 21)
Jelas bahwa ikatan kasih dan sayang merupakan satu dari unsur-unsur yang harus menjadi sandaran ikatan pernikahan antara laki-laki dan perempuan.
Jadi bagaimana mungkin sebuah pernikahan bisa dibenarkan atas asas pemuasan nafsu binatang semata? alangkah murahnya harga diri seorang perempuan jika ia cuma menjadi obyek pemuas birahi kaum lelaki. Ia dinikahi untuk waktu tertentu, 3 hari, 7 hari, 1 bulan, 3 bulan kemudian setelah habis masa itu, ia diceraikan dan diberi sejumlah uang atau harta sebagai imbalan.
Secara akal sehat saja, apa beda perempuan-perempuan ini dengan para pelacur? bagi saya pribadi, ini adalah pelacuran yang dibungkus oleh baju agama.
Orang hanya mencari-cari saja dalil dan alasan untuk pembenaran dirinya dalam berzinah, jadi daripada berzinah tanpa dalil agama, lebih baik jika perzinahan ini ditambah nash-nash agama biar kelihatan legal. Padahal intinya untuk pemuasan syahwat. Prostitusi dengan kedok syari'at!
Perempuan sudah dimanfaatkan untuk dijadikan budak nafsu yang dibayar dengan imbalan tertentu! Alangkah rendahnya harga diri wanita-wanita seperti ini.
Adapun untuk argumen yang mengatakan bahwa artinya Rasul pernah melegalkan perzinahan dikalangan umatnya dengan mengesahkan nikah Mut'ah dijamannya itu bisa kita bantah dengan logika sederhana.
Benar, Rasul pernah menghalalkan nikah Mut'ah pada periode tertentu dimasa lalu namun kemudian beliau menghapus kehalalannya itu dan status hukumnya kemudian menjadi haram untuk dilakukan.
Kehalalan nikah Mut'ah dimasa lalu, sama seperti kasus dimaafkannya para pelaku peminum khamr. Dimana hukum Allah itu turun secara bertahap, tidak instan sekaligus. Ia turun secara berangsur-angsur, disesuaikan dengan kasus-kasus yang melatar belakangi permasalahan umat dikala itu yang menjadi batu pijakan atas permasalahan umat disepanjang jaman.
Dulu, di bagian awal, orang masih boleh minum-minuman keras. Lalu turun larangannya secara bertahap sampai kemudian tegas diharamkan. Apakah kemudian artinya mabuk-mabukan itu dibenarkan Allah dan Rasul?
Jawabnya khan tentu tidak, nah begitupun dengan kasus nikah Mut'ah. Hukumnya sama seperti itu. Hanya logika orang bodoh saja yang akan menjawabnya dengan argumen seperti sebelum ini (yaitu Rasul pernah mengizinkan perzinahan).
Otak orang itu pasti sudah kelewat jahiliyah sehingga merangsangnya untuk mencari argumen-argumen bodoh atas dasar kejumudannya terhadap pemahaman tertentu didalam agama ataupun membenarkan nafsu kebinatangannya terhadap perempuan.
Tapi ustadz, lepas dari urusan akal sehat antum itu, bukankah dalil-dalil agama sendiri memang ada yang membenarkan perilaku nikah Mut'ah? bukankah pengharaman nikah Mut'ah itu sendiri baru terjadi pada jaman Khalifah ke-2 yaitu Umar Ibn Khattab?
Shahih Muslim 2496: Atha` berkata; Jabir bin Abdullah kembali dari menunaikan Umrah, lalu kami pun menemuinya di rumahnya, dan orang-orang pun bertanya kepadanya tentang berbagai persoalan. Kemudian mereka pun menyebutkan tentang nikah mut'ah, maka Jabir menjawab; "Ya, kami pernah melakukan nikah mut'ah pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar dan Umar."
Shahih Muslim 2497: Jabir bin Abdullah berkata; "Kami pernah melakukan nikah mut'ah selama beberapa hari dengan mas kawin beberapa genggam kurma dan tepung, pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Abu Bakar radliallahu 'anhu sampai Umar melarang nikat mut'ah dalam kasus Amru bin Huraits."
Shahih Muslim 2498: Dari Abu Nadlrah ia berkata; Aku pernah berada di dekat Jabir bin Abdullah, lalu ia didatangi oleh seseorang dan berkata; Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih pendapat mengenai Mut'atain (yaitu nikah mut'ah dan haji tamattu'), maka Jabir pun berkata, "Kami pernah melakukan keduanya bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian Umar melarang kami untuk melakukan keduanya dan kami tidak pernah lagi melakukannya lagi."
Well-well, kelihatannya saya memang tak bisa mengelak lagi ya, sebab hadis-hadis diatas berderajat shahih, apalagi dikeluarkan oleh Imam Muslim yang bagi sebagian besar kalangan ulama, dianggap punya otoritas kuat dalam hadis.
Tapi sebentar dulu, benarkah hadis-hadis diatas bisa dijadikan dalil atas penghalalan nikah mut'ah? Benarkah Umar ibn Khattab merupakan orang dibalik penghapusan konsep nikah Mut'ah yang konon pernah dilakukan pada masa Rasul dan pemerintahan Abu Bakar?
Saya kembali hendak mengajak anda untuk merenungi ulang apa yang disampaikan oleh Imam Ali ibn Abi Thalib berkaitan dengan hadis-hadis yang diatasnamakan pada Rasulullah dan sahabatnya.
Sesungguhnya hadis-hadis yang beredar dikalangan orang banyak, ada yang haq dan ada yang batil. Yang benar dan yang bohong. Yang nasikh dan yang mansukh, yang berlaku umum dan khusus. Yang Muhkam dan yang Mutasyabih. Adakalanya ucapan-ucapan Rasulullah SAW itu memiliki arti dua segi, yaitu ucapan yang bersifat khusus dan yang bersifat umum. Maka sebagian orang mendengarnya sedangkan ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW. Lalu sipendengar membawanya dan menyiarkannya tanpa benar-benar memahami apa artinya, apa yang dimaksud dan mengapa ia diucapkan. Dan tidak semua sahabat Rasulullah SAW mampu bertanya dan minta penjelasan dari Beliau. Sampai-sampai seringkali merasa senang bila seorang Badui atau pendatang baru bertanya kepada Beliau, karena merekapun dapat mendengar penjelasan beliau. (Sumber : Buku Mutiara Nahjul Balaghah, dengan pengantar Muhammad Abduh, Penerbit Mizan, Cetakan VII Mei 1999, Halaman 83 )
Dalam versi lain:
Orang yang tidak berbicara dusta terhadap Allah maupun Rasul-Nya. Dia benci akan kepalsuan karena takut kepada Allah dan menghormati Rasulullah, dia tidak membuat kekeliruan, tetapi menahan (di pikirannya) tepat apa yang didengarnya, dan dia meriwayatkannya sebagaimana dia mendengarnya tanpa menambah atau meninggalkan sesuatu.
Dia mendengar hadis yang menasakh, dia menahannya dan beramal menurutnya, dia mendnegar tentang hadis yang sudah dinasakh dan dia menolaknya. Dia juga mengerti (tentang hal-hal) yang khusus dan yang umum, dan dia tahu yang umum dan yang khusus, dan menempatkan segala sesuatu pada kedudukannya yang semestinya.
Ucapan-ucapan Rasullah biasanya terdiri dari 2 jenis. Yang satu khusus dan yang lainnya umum. Kadang-kadang seseorang mendengar beliau tetapi dia tak tahu apa yang dimaksud Allah Yang Maha Suci dengannya atau apa yang dimaksud Nabi dengan itu. Secara ini si pendengar membawanya dan menghafalnya tanpa mengetahui maknanya dan maksudnya yang sesungguhnya, atau apa sebabnya.
Kalangan sahabat Rasulullah umumnya tidak biasa mengajukan pertanyaan dan menanyakan maknanya kepada beliau. Sebenarnya mereka selalu menginginkan seorang badui atau orang asing datang dan menanyakan kepada beliau SAW supaya merekapun dapat mendengarkan. (Sumber: Buku Mutiara Sastra Ali Edisi Khotbah, Penerbit Al-Huda, Cetakan I 2009, Halaman 572-573 )
Sekarang, mari saya ajak anda baca riwayat-riwayat berikut ini :
Shahih Muslim 2509: Telah menceritakan kepada kami Ar Rabi' bin Sabrah Al Juhani dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang melakukan nikah mut'ah seraya bersabda: "Ketahuilah, bahwa (nikah mut'ah) adalah haram mulai hari ini sampai hari Kiamat, siapa yang telah memberi sesuatu kepada perempuan yang dinikahinya secara mut'ah, janganlah mengambilnya kembali."
Shahih Muslim 2503: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam prnah memerintahkan nikah mut'ah pada saat penaklukan kota Makkah dan kami tidak keluar (dari Makkah) melainkan beliau telah melarangnya.
Shahih Bukhari 4725:Telah menceritakan kepadaku Iyas bin Salamah bin Al Akwa' dari bapaknya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Bilamana seorang laki-laki dan perempuan telah bersepakat, maka batas maksimal antara mereka berdua adalah tiga malam. Jika keduanya suka, maka keduanya boleh menambah, atau pun berpisah." Aku tidak tahu, apakah perkara itu adalah khusus bagi kami, ataukah juga orang lain secara umum. Abu Abdullah berkata; Dan Ali menjelaskan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa perkara tersebut telah Mansukh (dihapus).
Shahih Muslim 2499: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Yunus bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid bin Ziyad telah menceritakan kepada kami Abu Umais dari Iyas bin Salamah dari bapaknya ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membolehkan nikah mut'ah pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Makkah) selama tiga hari. Kemudian beliau melarangnya."
Shahih Muslim 2502:Telah menceritakan kepadaku Ar Rabi' bin Sabrah Al Juhani bahwa ayahnya telah menceritakan kepadanya bahwa dia pernah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (dalam Fathu Makkah), beliau bersabda: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya pernah mengizinkan kepada kalian nikah mut'ah terhadap wanita, dan sesungguhnya (mulai saat ini) Allah telah mengharamkannya sampai Hari Kiamat, oleh karena itu barangsiapa yang masih memiliki (wanita yang dimut'ah), maka ceraikanlah dia dan jangan kamu ambil kembali apa yang telah kamu berikan padanya." Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami 'Abdah bin Sulaiman dari Abdul Aziz bin Umar dengan isnad ini, dia berkata; saya pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri di antara rukun (Ka'bah) dan pintu (Ka'bah) seraya bersabda seperti hadits Ibnu Numair.
Shahih Muslim 2512: Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Ubaidullah dari Ibnu Syihab dari Al Hasan dan Abdullah bin Muhammad bin Ali dari ayahnya dari Ali bahwa dia telah mendengar Ibnu Abbas lunak (mengizinkan) dalam nikah mut'ah, maka dia berkata; "Tunggu wahai Ibnu Abbas, karena pada waktu perang Khaibar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarangnya dan melarang memakan daging keledai jinak."
Shahih Muslim 2513: Dan telah menceritakan kepadaku Abu At Thahir dan Harmalah bin Yahya keduanya berkata; telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Al Hasan dan Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dari ayahnya bahwa dia pernah mendengar Ali bin Thalib berkata kepada Ibnu Abbas; "Pada waktu perang Khaibar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melarang melakukan nikah mut'ah dan melarang memakan daging keledai jinak."
Sunan Abu Daud 1775: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Faris, telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Az Zuhri dari Rabi' bin Sabrah dari ayahnya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah mengharamkan menikahi wanita secara mut'ah.
Shahih Bukhari 4723: Telah menceritakan kepada kami Malik bin Isma'il Telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyainah bahwa ia mendengar Az Zuhri berkata; Telah mengabarkan kepadaku Al Hasan bin Muhammad bin Ali dan saudaranya Abdullah bin Muhammad dari bapak keduanya bahwasanya; Ali radliallahu 'anhu berkata kepada Ibnu Abbas, "Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang nikat Mut'ah dan memakan daging himar yang jinak pada zaman Khaibar."
Jadi, kesimpulannya bagaimanakah? Apakah masih bersikukuh untuk menyebutkan nikah mut'ah baru dilarang dan diharamkan pada jaman pemerintahan Khalifah Umar, atau sudah sejak dari jaman Rasul masih hidup itu sendiri?
Jika kita lihat hadis-hadis ini, jangankan Jabir bin Abdullah. Bahkan Ibnu Abbas sendiri tidak tahu bila hukum nikah Mut'ah sudah dinasakh atau dihapus oleh Rasul dan baru tahu status hukumnya setelah diberitahu oleh Imam Ali ibn Abi Thalib sendiri.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk semua dalam memegang kebenaran Islam secara akal sehat dan nash yang benar, bukan nash yang dicarikan pembenarannya. :-)
Tulisan ini juga berkaitan dengan posting saya tanggal 18 Desember 2013 disini : http://armansyah.net/2013/12/mutah-pendapat-ulama-dan-akal-sehat/
Salam hormat saya dari Palembang,
ARMANSYAH
No comments:
Post a Comment