Sunday, December 22, 2013

Bolehkah memperingati hari ibu?

Oleh: Armansyah



Tulisan ini awalnya hanya berbentuk respon saya atas pertanyaan yang muncul pada status di Facebook saya tangga 22 Desember 2013 tentang status hukum dari memperingati hari ibu. (Bagi yang ingin melihat status aslinya, bisa ke mari: http://www.facebook.com/armansyah/posts/10152045595548444


Disebabkan saya anggap hal ini juga bermanfaat secara luas, maka saya coba angkat menjadi tulisan terpisah dalam blog saya ini. 


Kembali pada pertanyaan yang menjadi judul artikel saya kali ini, bolehkah memperingati hari ibu? Bukankah didalam Islam tidak ada peringatan-peringatan semacam ini? jika kemudian boleh memperingati hari ibu, lalu kenapa kita tidak boleh juga misalnya memperingati hari Valentine?


Baik. Ini jawaban saya. Bismillah.




Tak ada salahnya untuk menjadikan satu hari tertentu sebagai momentum khusus bagi para anak untuk menghormati para ibu. Apalagi ini dinisbatkan pada perenungan tentang kasih dan sayang seorang ibu, perjuangan keras seorang ibu didalam membesarkan dan mendidik anak-anaknya. 

Kita cenderung mengabaikan makna eksistensi ibu dikala kita dewasa, jadi anggap saja, momentum ini sebagai tonggak peringataan untuk para anak agar tidak melupakan jasa-jasa para ibundanya selama ini.



Kenapa lalu kita (yaitu umat Islam) menafikan hari Valentine yang dinisbatkan sebagai hari kasih sayang?





Konsep kasih sayang sangat abstrak dan tidak kongkret, berbeda dengan konsep perenungan atas perjuangan dan pengorbanan seorang ibu. Kasih sayang pada siapa? kasih sayang dalam bentuk apa? pada ibukah? pada pacarkah? pada kaum dhuafa-kah? pada orang tuakah? para para ulama-kah? pada para santo atau pendeta-kah? 

Sebab didalam ajaran Islam, menyifati sesuatu itu harus berdiri diatas sesuatu yang sifatnya juga jelas. Baik jelas dalam hal kesejarahannya, jelas dalam argumentasinya dan sebagainya.

Ketika disebut hari kasih sayang saja tanpa ada kejelasan kronologisnya tentang apa dan kenapa harus diperingati kasih sayang itu sendiri dalam satu hari tertentu, maka tentu ini tertolak. Begitupun bila ternyata hari kasih sayang itu dinisbatkan pada tradisi ataupun ibadah yang berkaitan dengan keagamaan tertentu diluar Islam, ini juga jelas tertolak untuk disepakati didalam Islam. 



Tapi, bukankah hari Ibu ini asalnya merupakan budaya pagan atau penyembah berhala juga?




 Dulu, di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, Hari Ibu atau Mothers Day dirayakan pada bulan Maret.

Hal itu berhubungan dengan kepercayaan mereka memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah atau mitologi Yunani Kuno. Di negara seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Belanda, Malaysia, dan Hongkong, Hari Ibu diperingati pada hari Minggu kedua bulan Mei. Karena hari itu pada 1870 seorang ibu aktivis sosial, Julia Ward Howe, mencanangkan pentingnya perempuan bersatu menghentikan Perang Saudara di Amerika yang belum berserikat.

Berbeda dengan Indonesia, Hari Ibu lahir dari sebuah Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres tersebut diilhami dari perjuangan para pahlawan perempuan Indonesia seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said, dan lain-lain.

Sampai akhirnya tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu baru pada 1938, saat Kongres III. Pada awalnya, Hari Ibu digunakan sebagai ‘alat perjuangan’ dalam upaya perbaikan kualitas kaum ibu sebagai tiang negara dan bangsa. Kemudian dikukuhkan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kiniJadi, ketika hari ini, yaitu tanggal 22 Desember dinisbatkan pada hari ibu, peringatan tersebut tidak lagi dalam konteks peringatan istri dewa manapun. Tinggal lagi pengembangan peringatan hari tersebut yang notabene sudah tidak lagi berkaitan dengan tasyabbuh pada agama manapun, di integrasikan dalam ajaran-ajaran Islam. Dengan harapan, para anak-anak muslimpun bisa mengambil ibroh atas momentum peringatan tersebut.


Kurang lebihnya, sama dengan konsep penetapan hari natal tanggal 25 Desember oleh umat Kristiani. Memangnya sejak kapan Nabi Isa itu dinyatakan lahir tanggal 25 Desember? bukankah itu diambil dari budaya pagan? Hal ini sudah diklarifikasi sendiri oleh Paus Benediktus XVI. Bedanya, orang Kristiani tetap mempertahankan tanggal 25 desember ini untuk dijadikan peringatan kelahiran yesus sementara Presiden Soekarno sudah menetapkan tanggal berbeda untuk menisbatkannya sebagai hari ibu. Berbeda dengan tradisi kafir sebelumnya di bulan Maret.


Intinya selama hal itu tidak bertentangan dengan akidah Islam maka boleh untuk dilakukan. Namun sebaliknya, maka hal itu wajib untuk di tinggalkan.


Sebagai catatan juga, tidak semua perkara tasyabbuh itu bersifat negatif. Saat ini, aktivitas kehidupan yang mana lagi tidak menyerupai kaum kafir? terlebih dengan sudah lintas batasnya penyebaran informasi dan komunikasi? Tinggal pintar-pintar saja untuk memilah dan memilih, apa yang sesuai dengan syari'at Islam dan apa yang tidak sejalan dengannya.


 



Semoga bermanfaat.

Palembang, 22 Desember 2013


 

Armansyah

No comments:

Post a Comment