Saturday, February 22, 2014

Syaikh Abdul Qodir Jailani dan hadiah bacaan al-Qur'an

Kemarin saya mendapat pertanyaan tentang hukum membaca sholawat ataupun menghadiahkan al-fatihah pada syaikh Abdul Qadir Jailani. | Sebenarnya pertanyaan ini klasik dan jawabannya rada rawan memicu perdebatan nih. Tapi karena saya anggap berguna, saya shared secara publik saja. Adanya pihak yang pro maupun kontra, saya anggap hal yang wajar-wajar sajalah dalam hidup. Kalo semua harus pro dengan pendapat saya, nanti hidup tak lagi hidup. 


Jawaban saya adalah saya pribadi tidak pernah mengamalkan sholawat atau juga menghadiahkan bacaan al-fatihah saya pada Syaikh Abdul Qodir Jailani atau juga pada siapapun diluarnya. Sholawat yang saya baca adalah bacaan yang saya temukan dalam nash-nash hadist yang bersumberkan para Rasulullah berdasarkan pada riwayat-riwayat para imam hadist yang sudah dikenal.


Saya juga sampai hari ini belum pernah bertemu riwayat shahih yang menyebutkan sunnah tentang membaca al-fatihah maupun ayat lain dari al-Qur'an dan pahalanya dihadiahkan pada sifulan atau fulanah. 


Demikian.


Sapa Andrie Aan Agustian selaku penanya.


Palembang, 22 Peb 2014


Status FB saya, 22/02/2014


Sekedar catatan tambahan :


A. Hassan dalam buku Soal Jawab Masalah Agama 3-4 (terbitan : Penerbit Persatuan Bangil) pada halaman 1152 mengatakan : Menurut pertimbangan akal, maka ganjaran ibadat itu tidak bisa sampai kepada orang lain lantaran Tuhan perintah beribadah itu agar kita terpelihara dari kejahatan dan agar kita menjadi orang yang berbakti, agar kita menjadi orang yang takut pada Allah.


Jika seandainya ibadat kita bisa dikerjakan oleh orang lain, tentu kita tidak bisa jadi orang yang dimaksudkan dalam Qur’an itu. Ibadah artinya memperhambakan diri, karenanya tidak bisa ada kalau tidak dikerjakan oleh masing-masing orang. Jika ibadat seseorang boleh dikerjakan oleh orang lain maka orang yang kaya bisa membayar manusia sekampung, bisa membayar kyai terkenal untuk mengerjakan amal ibadahnya.


 


Saya (Armansyah) jadi ingat pengalaman pribadi saat orang tua saya meninggal tahun 2000 yang lalu, saat itu salah seorang saudara tua saya dengan antusiasnya “membayar satu jemaah masjid” dari daerah lain untuk membacakan tahlil dan yasin bagi almarhum ditambah acara makan-makannya, saya sendiri menolak untuk ikut didalamnya. Bagi saya perbuatan itu sia-sia saja, saya menganggapnya sebagai perbuatan yang baik semata-mata untuk sipelakunya sendiri dan jamuan makan malam seperti biasa. Pendirian saya dan almarhum orang tua kebenaran sama, kami tidak menganggapnya sebagai suatu hal yang bermanfaat bagi orang yang sudah mati, kecuali doa mereka saja, sekali lagi doa bukan Yasin bukan tahlil dan bukan dengan kirim-kiriman al-Fatihah. Ini harus dibedakan.


Lebih jauh juga, pada halaman 1133 s/d 1138 secara panjang lebar A. Hassan dalam buku yang sama memperlihatkan bagaimana sejumlah ulama dan ahli tafsir pun banyak yang menolak amalan over pahala ini, misalnya At-Thabari (27:39-40), A. Fakhrur Razie (7:738), Ibnu Katsier (8:120 dan 3:444), Jalalain (3:198), Fathul Qadier (5:111), Nasa’i dengan berpegang pendapat Ibnu Abbas (Telah berkata Ibnu Abbas : Janganlah seseorang menggantikan sholat seseorang dan jangan pula ia puasakan seseorang), Malik bin Anas dengan berpegang pada perkataan Ibnu Umar (Tidak boleh seseorang mempuasakan orang lain dan tidak boleh dia menggantikan sholat orang lain), Fathul Barie (4:47 yang diambil dari perkataan Ibnu Umar juga : Telah berkata Ibnu Umar : Tidak boleh seseorang menghajikan orang lain).


Sekiranya over pahala dibolehkan oleh Nabi, tentu para sahabat tersebut tidak berani berkata demikian, adanya perkataan dari beberapa sahabat itu memberi arti bahwa Nabi Muhammad memang tidak pernah memperbolehkan over pahala, baik itu haji, puasa, sholat dan sebagainya.


Maih menurut A. Hassan juga, dalam Fathul Barie 4:49 disebutkan : Imam Malik memandang bahwa zhahirnya Hadis wanita Khast-’amiyah (yaitu menghajikan bapaknya) itu menyalahi zhahirnya al-Qur’an, maka Imam Malik berpegang pada al-Qur’an.


Saat disampaikan pada ‘Aisyah perkataan Umar dan Ibnu Umar bahwa mayat itu disiksa karena ditangisi keluarganya, hadis itu dibantah oleh ‘Aisyah dan merujuk pada Qs. al-Israa’ 17 ayat 15 bahwa seseorang tidak memikul dosa orang lain … dan ini pun riwayat dari Bukhari dari Ibnu Abbas.


Dengan demikian, semakin jelas masalah ini memang tidak bisa dibenarkan, baik menurut al-Qur’an, logika ataupun dikonfrontasikan dengan beberapa hadis Nabi yang lain.


Jika mau berdoa ya berdoa saja, kalau memang mau pakai bahasa Arab maka ucapkan Allahhummaghfirlie …dan seterusnya atau yang sejenis, dan jika mau memakai bahasa Indonesia atau bahasa daerah maka pilih saja kata-kata yang baik dan pantas.


Tidak ada yang perlu dilogikan untuk masalah ini karena logika jelas menentangnya, masalah ibadah seperti sholat, haji dan membaca al-Qur’an berhubungan langsung dengan Allah sementara masalah hutang piutang duniawiyah berhubungan langsung dengan sesama manusia, sehingga saat orang tua kita meninggal, saudara kita meninggal maka kita sebagai ahli rumahnya memiliki kewajiban untuk menyelesaikan semua hutang piutang yang terjadi, sementara dengan Allah itu bukan urusan kita, melainkan urusan orang yang bersangkutan sendiri dengan Allah, jika memang ia punya hutang dengan Allah dan dia keburu meninggal sebelum sempat membayar hutangnya itu maka itu artinya Dia menagih dengan cara-Nya sendiri.


Sebenarnya yasinan ini sama sekali tidak ada dasarnya dari sunnah, sepanjang sepengetahuan saya, Nabi dan keluarganya serta para sahabat tidak pernah berbuat hal yang demikian.


Acara yasinan diduga kuat berasal dari para wali ketika berusaha menyebarkan Islam didaerah-daerah yang masih menganut paham Hindu maupun animisme. Mereka menyusupkan ajaran-ajaran Islam ditengah tradisi dan kebiasaan masyarakat yang waktu itu masih sangat kuat mengakar.


Hal yang sama misalnya dilakukan oleh Sunan Kali Jaga melalui wayangnya, Sunan Gunung Jati melalui lagu-lagunya dan seterusnya.


Apakah perbuatan mereka itu salah ? jawabnya – ya – dan – tidak –


Dalam kondisi tertentu, memang diperlukan teknik-teknik khusus untuk bisa menarik orang kedalam ajaran Islam, kita harus ingat bahwa tidaklah mungkin kita bisa merubah kebiasaan suatu kaum secara drastis, pertentangan akan selalu muncul disana-sini, dan jika tidak bijak menghadapinya malah bisa terjadi bentrokan fisik yang malah akan merugikan semua pihak. 
Disini Ijtihad para wali itu mungkin bisa dimaafkan dan diterima.


Dari sisi lain, sekali lagu perbuatan-perbuatan semacam itu tidak ada tuntunannya secara agama.


Kalau mau mengaji ya mengaji saja, kenapa harus ditetapkan surah Yasin saja ? kenapa tidak an-Nisaa’ atau kenapa tidak al-a’la kenapa tidak surah al-Baqarah ?


Firman Allah :


karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an. – Qs. 73 al-Muzammil 20


Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah – Qs. 64 at-Taghaabun 16


Selanjutnya, membaca al-Qur’an sebenarnya tidak diperbolehkan secara beramai-ramai seperti yang sering kita lihat pada acara yasinan, tahlilan dan sejenisnya.


Firman Allah :



Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. – Qs. 7 al-A’raaf 204

Sudah jelas bahwa jika ada suatu forum membaca al-Qur’an, cukup satu saja yang membaca, yang lain mendengar dan menyimaknya, tujuannya tidak lain agar bila terjadi kesalahan baca bisa saling membenarkan, coba anda lihat orang-orang yang yasinan itu, mereka semuanya sibuk mengaji, malah seolah adu cepat dalam membaca, lalu bagaimana bila ada yang salah baca ? siapa yang mengoreksinya ? dibiarkan saja jelas salah.


Mendengarkan bacaan al-Qur’an itulah yang sebenarnya mendapat rahmat, bukan berebut membacanya sehingga tidak lagi mengindahkan panjang pendek huruf, tidak lagi memperhatikan keindahan bacaan, lihatlah kembali dan dengarlah saat ada orang yang yasinan, suaranya jadi tidak jelas, bergumam bukan, nyanyi juga bukan yang ada hanya riuh ribut saja.


Padahal firman Allah :


Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. – Qs. 17 al-Israa’ 106



Dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. – Qs. 73 al-Muzammil 4

Saat ada orang meninggal, biasanya juga sibuk saling membagikan yasin didekat jenasah, malah diatas kepala simayat tadi diletakkan juga al-Qur’an. Untuk apa ?


Kalau tujuan membagikan yasin adalah agar orang tidak mempergunjingkan orang yang meninggal ini tadi, ya boleh-boleh saja, tetapi itupun kenapa harus dikhususkan Yasin ?


Masalah mendudukkan al-Qur’an diatas kepala mayat adalah hal yang percuma … al-Qur’an itu berguna saat manusia itu masih hidup, jika maut sudah datang, tidak akan ada manfaatnya apa-apa.  

1 comment:

  1. boleh gak aku mau tanya .. hadiah abdul qodir jailani cprti apa sih pak?

    ReplyDelete