Siapa Ahli Bait Nabi?
Oleh : Armansyah
Secara bahasa atau etimologi, kata “Al-Ahlu” merupakan bentuk jamak yang berasal dari kata “Ahila” atau “Ya'halu” yang berarti menghuni suatu tempat. Arti dari istilah Bait sendiri adalah rumah. As-Sa'labi dalam kutipan Qurthubi berkata: Mereka (Ahlul Bait) tidak lain dari Bani Hashim. Ini menunjukkan yang dimaksudkan dengan perkataan Al-Bait (rumah) yang digandengkan pada istilah Al-Ahlu adalah “Baitunnasab” (rumah keturunan).
Dengan demikian maka berdasar pemahaman ini, Keluarga Abu Thalib, keluarga Al-Abbas, bapak-bapak saudaranya dan anak-anak mereka serta yang memiliki kaitan nasab kepada mereka termasuk dalam kelompok Ahlul Bait Nabi. Meski demikian, perkataan Ahlul Bait (sering disebut dan ditulis juga dengan istilah Ahli Bait) tidak bisa hanya terbatas pada kelompok-kelompok diatas saja. Dalam hal ini al-Qur’an pernah menyinggung penggunaan istilah tersebut untuk menyebut istri-istri Nabi Ibrahim.
Isteri (Ibrahim) berkata: "Sungguh mengherankan, apakah aku (masih) akan (bisa) melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan suamiku inipun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya Ini benar-benar suatu yang sangat aneh." ; Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? Rahmat Allah dan keberkatan-Nya dicurahkan atas kamu, Hai Ahlul Bait ! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah." (QS Huud (11) : 72-73)
Begitupun ketika Allah mengisahkan tentang Nabi Musa menjelang beliau mendapatkan wahyu :
Apakah Telah sampai kepadamu kisah Musa? Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya - li ahlihi (yaitu istrinya). (QS Thaha (20) : 9-10)
Sehingga beranjak dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut, maka istilah Ahlul Bait berarti memiliki pengertian sebagai keluarga. Dengan demikian, maka secara umum dapat dipahami bila yang dimaksud dengan Ahli Bait Nabi adalah siapapun orang yang merupakan keluarga dari Nabi Muhammad SAW dan terlebih lagi mereka tinggal dikediaman beliau. Termasuk para istri dan anak-anaknya serta orang-orang yang ada dalam asuhan beliau SAW. Kedalam kelompok umum ini maka kita bisa menyebutkan nama-nama Ahli Bait itu terdiri dari Khadijjah dan putera-puterinya, kemudian Ali bin Abi Thalib yang sejak kecil berada dibawah asuhan Rasul dan tinggal serumah dengan beliau, semua istri-istri beliau diluar Khadijjah serta keluarga-keluarga beliau lainnya yang masih berhubungan darah secara silsilah dan dekat dengan beliau seperti Hamzah bin Abdul Mutthalib dan Ja’far bin Abu Thalib r.a.
riwayat Imam Muslim dari Zaid bin Arkam, disebutkan pula pertanyaan Husain bin Sabrah terhadap Zaid : “Siapakah Ahli Bait beliau, wahai Zaid ? Bukankah istri-istri beliau termasuk Ahli Baitnya ?”, Zaid menjawab : “Istri-istri beliau memang termasuk Ahli Baitnya. Tapi Ahli Bait beliau (sesungguhnya) adalah siapa yang tidak diperbolehkan menerima sedekah sepeninggal beliau (Nisa uhu min ahli bayti walakin ahlu baytihi man hurrimas shodaqoh ba’dahu). Tanya : “Siapakah mereka itu ?”, Zaid menjawab : “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas”. Tanya, “Semua orang-orang itu tidak diperbolehkan menerima sedekah ?”. Jawab : “Ya”. (HR. Muslim)
“Sesungguhnya sedekah itu tidak pantas bagi keluarga Muhammad.” (HR. Muslim)
Di dalam Sahih Turmudzi, Musnad Ahmad, Musnad ath-Thayalisi, Mustadrak al-Hakim 'ala ash-Shahihain, Usud al-Ghabah, tafsir ath-Thabari, Ibnu Katsir dan as-Suyuthi juga shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah SAW mendatangi pintu rumah Fatimah selama enam bulan setiap kali keluar hendak melaksanakan shalat malam dengan berseru, "Shalat, wahai Ahli Bait. 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya”.
Oleh karena itu juga, melalui berbagai hadis yang sudah kita sebutkan dibagian atas kita bisa menyimpulkan bila Ahli Bait Nabi dalam arti khusus dan terutama adalah anggota keluarga Nabi Muhammad SAW yang disebutkan haram menerima zakat seperti keluarga Ali dan Fatimah beserta putra-putra mereka (Hasan dan Husain) serta keturunan mereka. Juga keluarga Abbas bin Abdul-Muththalib dan keluarga Ja'far serta keluarga Aqil bin Abu Thalib yang masih bersaudara dengan Ali, yaitu merupakan putra-putra Abu Thalib (paman Nabi Muhammad).
Keutamaan keluarga Nabi yang berasal dari istri beliau, Khadijjah, dan juga dari kakek serta pamannya, Abdul Muthalib serta Abu Thalib disamping kerabat, istri dan sahabat beliau SAW yang lain harusnya bisa dipahami secara wajar.
Ali bin Abi Thalib sendiri diriwayatkan pernah mengatakan, “Seseorang betapapun ia berharta, selalu akan membutuhkan keluarganya serta pembelaan untuknya, dengan tangan dan lidah mereka. Mereka itulah yang paling diharapkan pertolongannya setiap kali bencana datang menimpa, serta paling kuat penjagaannya dan paling banyak kasih sayangnya".
Terhadap Ahlul Bait Rasulullah diluar keluarganya yang utama, Allah juga melalui al-Qur’an telah memberikan peringatan kepada kita tentang keutamaan istri-istri Nabi lainnya (diluar Khadijjah dan dinastinya).
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka (wa-azwaajuhu ummahaatuhum). (QS AL-Ahzaab (33) : 6)
Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah sama seperti wanita yang lain (QS AL-Ahzab (33) : 32)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu di izinkan … Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. (QS AL-Ahzaab (33) : 53)
Ketika turun perintah berhijab, Rasul diperintahkan terlebih dahulu menyampaikan kepada istri dan anak-anak perempuannya.
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". (QS AL-Ahzaab (33) :59)
Dalil-dalil tersebut kiranya lebih dari cukup untuk membuat kita menghargai serta menghormati kedudukan istri-istri Rasulullah SAW. Mereka adalah orang-orang yang pernah ada dan mendampingi kehidupan sang Nabi dalam menjalankan misinya ditengah umat manusia. Mereka adalah saksi-saksi sejarah tentang penderitaan, kebahagiaan, keterlukaan maupun senyum dan canda seorang utusan Tuhan yang menjadi penutup garis kenabian sepanjang masa. Kepada mereka seorang Muhammad pernah berbagi cerita dan kasih sayangnya. Mereka semua adalah wanita-wanita terhormat pilihan yang tidak dimiliki oleh kaum wanita manapun diluarnya.
Tidak halal bagimu (Muhammad) mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu. (QS AL-Ahzaab (33) :52)
Sekelompok golongan tertentu didalam Islam telah memberikan kedudukan yang berlebihan atas diri para Ahli Bait Nabi, baik itu kepada Ahli Bait utama yang berasal dari dinasti Khadijjah dan Abu Thalib maupun kepada istri-istri beliau SAW lainnya. Kedudukan tersebut adalah dengan menjadikan pribadi-pribadi bersejarah itu sebagai “orang-orang surga” yang tidak tersentuh kesalahan manusiawi sekecil apapun itu. Istilah populernya, Maksum.
Saya pernah membahas dalam buku ke-2 saya yang berjudul "Jejak Nabi Palsu", bahwa surah AL-Ahzaab ayat 33 diturunkan Allah berkenaan dengan rencana pensucian Ahli Bait Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS AL-Ahzaab (33) :33)
Ayat ini sebenarnya tidak bisa dijadikan sandaran akan keterbebasan Ahli Bait Nabi (siapapun mereka adanya) dari semua kesalahan dan dosa. Ayat ini hanya sebuah pemberitaan dari Allah akan kehendak-Nya untuk menjadikan keluarga Rasul-Nya itu berderajat lebih tinggi dari orang lain diluar mereka namun bukan dengan serta merta secara langsung menjadikan mereka bersifat demikian. Kenyataan ini didasarkan pada firman Allah menyangkut do’a Nabi Ibrahim a.s.
Allah berkata: “Sesungguhnya aku akan menjadikan kamu (Ibrahim) sebagai pemimpin untuk semua manusia (Inni ja’iluka li al¬nas Imama) !” Ibrahim bertanya: “Bagaimana dengan keturunanku?” Allah berkata: “Janjiku tidak termasuk orang yang zhalim (la yanalu ‘ahdiya al-zhalimin) !” (QS AL-Baqarah (2) : 124)
Jadi berpijak dari ayat ini, bila ada diantara Ahli Bait Nabi (atau keturunan beliau pada masa-masa selanjutnya) yang berlaku zalim seperti berbuat dosa, melakukan kesalahan dan sejenisnya maka mereka praktis keluar dari janji Allah tersebut. Kita selalu mempertanyakan nilai-nilai keadilan dalam hidup ini, maka menurut saya, inilah salah satu bentuk keadilan Allah terhadap semua hamba-hamba-Nya.
Firman Allah, “Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS AL-Ahzaab (33) :30)
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah katanya : Rasulullah SAW berdiri ketika Tuhan Yang Maha Mulia dan Maha Besar menurunkan ayat, yang artinya : “Dan berilah peringatan kepada keluargamu terdekat !” Lalu beliau bersabda : “Hai kaum Quraisy ! (atau perkataan yang serupa dengan itu). Tebuslah dirimu ! Saya tidak dapat menolongmu barang sedikit pun dari siksa Tuhan. Hai Bani Abdi Manaf ! Saya tidak bisa menolongmu sedikit pun. Hai Abbas anak Abdul Muthalib ! Saya tidak bisa menolongmu sedikit pun dari siksa Tuhan. “Hai Safiah, bibi Rasulullah ! Saya tidak bisa menolongmu sedikit pun dari siksa Tuhan. Hai Fatimah binti Muhammad ! Mintalah kepada saya harta tapi saya tidak bisa menolongmu sedikit pun dari siksa Tuhan !”
Dari ‘Aisyah katanya Rasulullah SAW bersabda, “Hai manusia ! Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah apabila seorang pembesarnya yang mencuri maka mereka biarkan saja. Tetapi bila seorang yang lemah mencuri maka mereka jalankan hukuman kepadanya. Demi Allah! Seandainya Fatimah putri Muhammad sendiri yang mencuri, pasti aku akan memotong tangannya”. (HR. Muslim)
Bagaimana manusia sampai bisa menyelisihi nash-nash suci yang kuat seperti ini dan menjadikan pendapat-pendapatnya sendiri maupun pendapat-pendapat orang-orang tertentu sebagai hujjah tanpa dasar yang dapat dipertanggung jawabkan ?
Ahli Bait suci dan disucikan dalam artian lebih jauh adalah ditinggikan derajat mereka selama mereka tetap dalam garis syari’at yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada pengecualian apapun untuk mereka sehingga bisa mengaku diri bebas dari kesalahan dan menjadi imam-imam yang otoriter terhadap kelompok dan masyarakat diluar mereka. Bahkan jajaran Nabi dan Rasul yang notabene manusia-manusia paling utama dari manusia lainnya saja dikisahkan seringkali berbuat kesalahan dan mendapat teguran dari Allah, bagaimana bisa ada orang justru mengatakan diri bersih dari sifat-sifat kemakhlukan ? Pada masanya, Adam pernah melanggar perintah Allah sehingga dia terusir dari Jannah-Nya. Saat tidak tahan menghadapi tingkah umatnya, Nabi Yunus melarikan diri sehingga harus mendapat hukuman tertelan ikan. Bahkan Rasulullah Muhammad SAW, sang Khataman Nabiyyin, penutup para Nabi, pernah ditegur oleh Allah karena mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah hanya untuk kesenangan hati istri-istri beliau SAW, pada kesempatan lain, beliau juga ditegur gara-gara bermuka masam pada seorang buta yang ingin meminta pengajaran darinya.
Teguran yang disampaikan oleh Allah kepada beliau karena beliau adalah manusia pilihan dan seorang Nabi, sehingga sikap yang menimbulkan kesan yang negatif pun tidak dikehendaki Allah untuk beliau perankan. Penulis dalam hal ini tidak ingin berpolemik masalah validasi dari hadis yang membicarakan asbabun nuzul surah Abasa tersebut. Kita hanya ingin mengajukan pertimbangan argumentasi bagi orang-orang yang terlalu melangitkan kemanusiawian seorang Nabi dan Rasul seperti Muhammad SAW. Bukankah beliau sendiri pernah bersabda :
Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji (‘Isa) putera Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, "Abdulllah wa Rasuluh (Hamba Allah dan Rasul-Nya)" (HR. Muttafaq ‘alaih)
Sebagian orang berkata kepada beliau: "Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik diantara kami dan putera orang terbaik diantara kami! Wahai sayyid (penghulu) kami dan putera penghulu kami!" Maka seketika Nabi bersada: "Wahai manusia, ucapkanlah dengan ucapan (yang biasa) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh setan ! Aku adalah Muhammad, hamba Allah dan rasul-Nya. Aku tidak suka kalian menyanjungku diatas derajat yang Allah berikan kepadaku!" (HR. Ahmad dan An-Nasa'I, hadis senada juga bisa dilihat dalam riwayat Abu Daud dengan sanad Jayyid atau juga riwayat Bukhari dalam kitab Shahiihul Adabil Mufrad).
Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: "Kami tidak lain hanyalah manusia biasa seperti kamu”. (QS Ibrahim (14) : 11)
Katakanlah (wahai Muhammad) : "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia biasa seperti kamu yang diwahyukan kepadaku bila sebenarnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa" (QS AL-Kahfi (18) :110)
Dan Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan mereka memakan-makanan dan berjalan di pasar-pasar. (QS AL-Furqon (25) :20)
Merupakan sebuah kewajiban tersendiri bagi umat Islam untuk mencintai Nabi Muhammad, mengasihi keluarganya dan mengikuti sunnahnya. Akan tetapi tidak sepantasnyapula apabila dengan alasan tersebut kita malah terlalu berlebihan dalam mengaplikasikannya.
"Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-berlebihan dalam urusan kami, dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS Ali Imran (3) :147)
mas arman tolong background blognya direvisi. karena disebelah kiri yang terlihat adalah gambar dan tulisan arab berlafadz ilaaha illallah (laa-nya tertutup). bisa jadi arti lain mas. tuhan selain Allah dan foto mas arman yang berdasi dan berkacamata. mohon maaf dan thanks
ReplyDelete