Berdakwah ditengah komunitas orang tua yang saban hari datang kemasjid, ikut pengajian ini dan itu serta pemikirannya sudah akhirat melulu insyaAllah adalah perbuatan yang gampang. Lah memang itu yang mereka cari dan mereka kejar. Mereka berlomba-lomba memperdalam ilmu agamanya untuk bekal diakhirat. Apalagi jika usianya sudah diatas 50 dan 60-an tahun. Dunia sudah bukan hal yang penting-penting amat lagi dibenak mereka.
Begitu juga bila kita berdakwah ditengah majelis pengajian yang isinya penuh oleh anak-anak muda dari ROHIS, KAMMI, IRMA, LDK, para santri dan santriwati pesantren serta lain sebagainya pun akan relatif lebih mudah diterima. Mereka memang menyukai hal-hal bersifat religiousitas atau keagamaan. Sehingga meskipun menggunakan pendekatan dakwah dengan metode klasikpun mereka fine-fine saja.
Namun berdakwah ditengah komunitas artis hingga anak muda yang masih suka happy-happyan, masih lebih demen dengerin musik yang ngejrang-ngejreng, berpakaian dan lifestyle yang modis serta fresh atau anak-anak muda yang masih lebih menyukai membaca novel dan nonton bola ketimbang dengerin ceramah inilah yang sulit untuk dilakukan. Mereka-merekalah generasi muda Islam yang tidak bisa didakwahi dengan pendekatan klasik, langsung to the point bilang ini halal dan itu haram, ada perilaku menyimpang langsung dimarahin dan divonis, tampil ceramah tentang syurga dan neraka tanpa memberi kesempatan mereka untuk mencerna secara kritis dengan model pemikiran muda mereka seraya kita tampil bak seorang wali lengkap menggunakan jubah panjang, sorban putih dengan tongkat atau tasbih ditangan.
Uslubud da’wah alias metode dakwah antar kaum dan antar jaman tidak selalu bisa diterapkan secara apple to apple. Jangan dipaksakan sama. Karena mereka memang berbeda. Ada ketidak kompatibelitasan disetiap orang, disetiap jaman dan disetiap peradaban bahkan disetiap daerah dan negara. Bukan konten dakwahnya yang sudah usang, bukan pula firman-firman Tuhan yang sudah lekang dimakan jaman, tapi thoriqah atau cara penyampaian dan pendekatannya itulah yang mungkin harus lebih inovatif dan berbeda.
Seorang pendakwah yang baik, mesti dapat mencari strategi yang jitu agar dakwahnya dapat dipahami dan diterima oleh masing-masing audiennya. Kapan harus bicara dengan tampilan dan gaya seorang kyai kharismatik serta kapan harus tampil modern, fresh looking, fresh mind, fresh talking, menyampaikan dakwah agama dengan cara yang bisa diterima oleh kaum mustad'afin atau kelompok yang secara amsal telah tertindas dengan pemikiran dan gaya hidup barat yang sekuler, dimana mereka juga adalah kaum arâdzil (yang tersisih dalam pengertian tersisih dari haknya mendapat ilmu agama akibat derasnya tuntutan ilmu-ilmu dunia), mereka adalah kaum fuqarâ’ (orang yang fakir alias kekurangan dalam khasanah spiritual), mereka juga kelompok masâkin (orang-orang yang miskin dari pergaulan para syaikh dan alim ulama keagamaan akibat bentuk sekolah modern yang lebih memperkaya jiwa mereka dengan pemikiran sekuler serta globalisasi).
Kita tidak dapat menutup mata dari segmentasi ini. Mereka juga harus dirangkul. Mereka juga perlu didakwahi. Tapi carilah jalan-jalan yang sesuai dengan lifestyle dan perkembangan jaman mereka. Gunakan bahasa-bahasa segar dengan semua analogi yang bisa dipahami oleh akal mereka hari ini. Peranan bahasa dan penampilan sangat penting dalam menjadikan seseorang dapat diterima oleh masyarakatnya. Jangan sampai kita mendakwahi seseorang, tetapi seseorang itu tidak paham dengan apa yang kita ucapkan. Kita mendakwahi seseorang tetapi hanya bersifat sementara saja karena gaya kita yang berkesan menyudutkan dan menyalahkan. Entah karena orang yang kita dakwahi ini adalah benar-benar orang bodoh, atau kita sendiri yang paling bodoh karena tidak dapat menempatkan bahasa maupun gaya dalam dakwah. Dakwah tidak akan diterima jika ia disampaikan secara garing apalagi garang. Khoothibun naasa ‘alaa qodri ‘uquulihim, sampaikan sesuai dengan kapasitas pemikiran mereka (tsaqofah).
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (Al-Qur'an surah An-Nahl ayat 125)
Puncaknya, setiap pendakwah seyogyanya juga dapat berfungsi juga sebagai uswatun hasanah, penerap yang pertama dari apa yang ia sampaikan, sehingga umat tidak melihat kepincangan antara teori dan praktik nyata dilapangan.
Semoga bermanfaat untuk kita semua.
Gambar hanya sebagai ilustrasi saja, tak ada kaitan dengan topik status ini secara langsung.
Salam dari bumi Jakabaring, Palembang Darussalam,
08 Mei 2015
Armansyah Azmatkhan, MP.d
Original posted:
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10153211086473444&set=a.407879698443.185889.727558443&type=1&permPage=1
No comments:
Post a Comment