Istilah terpaksa hanya ada pada diri makhluk yang dikaruniakan sifat fujur di jiwanya. Sifat fujur ini adalah sebuah potensi untuk berbuat ingkar yang berujung pada pembangkangan, penolakan dan murtad sesuai arti asli dari istilah itu sendiri. Kita tidak melihat adanya pembangkangan pada hewan, tumbuhan atau semesta lainnya. Jika kemudian kita melihat adanya hewan yang ganas dan menyerang manusia, itu bukan hewan tersebut berlaku membangkang terhadap fitrahnya tetapi semata-mata karena populasinya sudah mulai diganggu oleh manusia, begitu juga bila ada air laut yang berubah ganas dan menimbulkan tsunami besar, bukan karena air laut membangkang fitrahnya untuk mengalir dengan tenang namun karena memang ada faktor fenomena alam lain yang terkait dengan kondisi lempeng tempat ia mengalir menyebabkan ia kemudian bergemuruh hebat. Itupun air laut melakukannya karena ia tunduk pada ketentuan yang sudah diatur untuk dirinya.
Lalu manusia? Manusia diberikan sifat fujur selain sifat taqwa (lihat al-Qur'an surah As-Syams ayat 8) . Dengan potensi fujurnya itu, manusia kemudian menjadi makhluk yang paling banyak membantah, makhluk yang paling rewel, bawel dan ngeyel. Hal itu bukan karena manusia diberikan akal untuk berpikir, tetapi potensi fujurnya itulah yang membuat ia kemudian memanfaatkan akalnya untuk berlaku membangkang pada setiap ketentuan yang telah ditetapkan. Manusia kemudian banyak menjadi kufur, menjadi ingkar bahkan terhadap Tuhannya sendiri.
Mereka berani membuat berhala-berhala untuk menggantikan esensi Tuhan yang sesungguhnya. Mereka mulai mencari-cari pembenaran atas kepembangkangannya itu dengan dalih yang tentu saja akan senantiasa membenarkan perilaku dan pikirnya yang subyektif. Ketentuan Tuhanpun lalu dilanggar, aturan halal dan harampun tidak lagi diindahkan. Orang mulai berkoar, bahwa Tuhan yang memaksa umatnya untuk sholat adalah Tuhan yang keliru, Tuhan yang memaksa umatnya untuk bersyukur adalah Tuhan yang palsu. Ibadah itu tidak harus dipaksa-paksa, bersyukur itu harusnya dilakukan secara ikhlas, bukan dengan keterpaksaan.
Itulah manusia yang fujurnya telah mendominasi system imunitas taqwanya. Itulah manusia yang ibarat komputer, system dan aplikasinya telah terserang wabah virus mematikan yang bukan hanya siap untuk memperlambat kinerja sistem operasi namun juga akan menginfeksi seluruh dokumen kerja sehingga berat dan bermasalah untuk dibuka. Pada tahap yang semakin parah, virus itu juga akan membuat celah pada sistem agar dapat disusupi oleh spyware dan malware sehingga apapun aktivitas online yang dilakukan bisa di intai dan kemudian diambil alih oleh para hacker.
Nah Siapa virusnya? ya Fujurohanya tadi. Siapa hackernya manusia beriman? ya setan. Makhkuk apa itu setan? ya diantaranya ada manusia jahat dan ada juga Jin. Lalu Iblis tidak berperan? ya Iblis bagian dari Jin (lihat al-Qur'an surah Al-Kahfi: 50), maka cukuplah masuk dalam kategori tersebut. Olehnya kita diajarkan dalam surah An-Naas untuk meminta perlindungan Minal jinnati wannas.
Tapi benarkhan ibadah itu mestinya harus ikhlas? Jawabnya iya, secara defaultnya ya memang begitu yang wajarnya. Nah benar juga khan kalau ibadah itu tidak boleh dipaksa-paksa? Jawabnya tentu iyalah. Tapi iyalahnya bukan iya membenarkan namun iyalah, ibadah itu memang kadang harus dipaksa agar ia menjadi biasa. Dari biasa lalu diharapkan muncul kesadaran.
Wong kita kerja saja dipaksa kok untuk ngikut aturan main perusahaan, jika perusahaan membuat peraturan atau kebijakan abcde ya kita harus tunduk pada peraturan abcde itu. Jika kepolisian membuat peraturan tentang wajibnya berhelm dan membawa STNK serta SIM jika kita menggunakan kendaraan pribadi kita, maka kita harus tunduk pada peraturan mereka. Jika membangkang? ya siap-siap untuk diproses secara hukum yang berlaku oleh mereka.
Loh, bukannya itu motor ya motor kita pribadi? dibeli dengan uang kita pribadi? suka-suka kita dong mau bawa surat atau tidak, mau pake helm atau tidak? Beli motor sudah kredit, masih juga disuruh bayar pajak, masih juga disuruh punya sim. Bukankah itu terpaksa? Kok nurut? Adakah diantara kita yang lalu kemudian punya kesadaran akibat keterpaksaan ini? Oh, punya SIM itu wajibloh, itu sebagai bukti kita itu memang sudah dianggap cukup mampu mengendarai kendaraan, kita dianggap mampu untuk tidak menabrak atau membahayakan orang lain. Oh, ini sudah urusan kepercayaan. Lalu helm dan surat-surat. Oh... jika saya lalai dijalan lalu terjatuh, dengan menggunakan helm standar, kepala saya bisa diminimalisir dari pecah akibat terbentur aspal, oh jika ada sesuatu terhadap saya, maka orang-orang akan mudah menghubungi sanak famili dan kerabat saya dari surat-surat yang saya bawa.
Nah... jika urusan dunia saja sudah penuh dengan keterpaksaan diawalnya, yang kemudian kita aminkan juga pelaksanaannya, lalu kenapa anda-anda selalu memperkarakan pemaksaan dari Allah untuk tunduk pada ketentuan-Nya? Kenapa anda-anda kemudian membantah dengan seribu bantahan jika sholat itu harusnya dilakukan dengan ikhlas saja, serelanya saja? Kalau tak ikhlas ya sudahlah, gak usah ibadah, gak usah melakukan sholat, gak usah berpuasa? Apa ya memang begitu bengalnya diri anda terhadap Tuhan anda? Apa sedemikian parahnya virus fujur yang telah terinstal dalam system jiwa anda sehingga tak lagi berdaya potensi taqwa anda?
Kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan sukarela maupun terpaksa. (Al-Qur'an surah Ali Imron ayat 83).
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari. (Al-Qur'an surah Ar-Ra'du ayat 15)
Sadarkah anda, bahwa ketika mata anda mengantuk lalu anda pergi tidur sebenarnya anda itu sudah tunduk kepada ketentuan yang dikehendaki oleh Allah ta'ala? sadarkah anda ketika anda sedang bersedih dan air mata anda keluar menetes itu artinya anda sedang tunduk pada fitrah yang telah ditetapkan oleh Allah? Sadarkah anda, bahwa ketika anda kecelakaan, ketika anda sakit, ketika anda sedang merasa kecewa.... anda sesungguhnya sedang tunduk pada peraturan Allah, pada undang-undangnya Allah? Anda ingin membangkang? coba lawan rasa kantuk itu selama 7 hari berturut-turut, jangan pernah mejam satu detikpun, jangan pernah istirahat walau nol koma nol satu mili detik. Bisa?
Kita itu diberikan potensi fujur sekaligus potensi taqwa sehingga dapat berlaku sebagai Ahsani Taqwim. Dengan taqwa yang ada maka kita dapat melakukan ibadah dengan kesadaran, dengan kesungguhan hati, dengan kerelaan dan dengan ilmu. Dapat membedakan mana yang harus diprioritaskan dan mana yang dapat dikesampingkan. Atau ibarat materi Excel, dapat membedakan mana tabel utama dan mana tabel baca. Ibarat materi Database, dapat membedakan mana type data Text, mana type data number, longinteger, atau Date/Time.
Ada sebuah teori bernama XY Theory yang dikemukakan oleh Douglas Mc Gregor. Ia mengatakan ada dua tipe manusia, yaitu tipe X dan tipe Y. Tipe X adalah manusia yang tidak menyukai kerja, malas, tidak menyukai tanggung jawab dan harus dipaksa agar berprestasi. Untuk jenis ini maka pimpinan harus menggunakan paksaan dan pengawasan yang ketat agar tujuan organisasi atau perusahaan dapat dicapai. Untuk memimpin bawahan yang mempunyai tipe ini pimpinan harus memerankan diri sebagai pemimpin yang otokratik.Sebaliknya, manusia tipe Y adalah manusia yang menyukai kerja, kreatif, berusaha bertanggung jawab dan dapat bekerja tanpa perlu dipaksa. Bawahan yang mempunyai tipe Y ini maka pimpinan tidak perlu banyak memaksa tapi justru memberikan delegasi wewenang agar ia dapat mengembangkan daya kreasinya.
Nah, manusia yang seperti apa diri kita? jawablah sendiri.... manusia dengan tipikal X atau manusia dengan tipikal Y?
Sebagai catatan akhir saja bahwa terkadang kita memang harus dipaksa. Dipaksa untuk bisa melakukan sesuatu yang tidak biasa kita lakukan, bahkan (yang kita pikir) hal itu diluar kemampuan kita. Dipaksa untuk keluar dari zona nyaman yang selama ini melingkupi diri kita. Dipaksa untuk mengerahkan segenap potensi yang kita miliki. Bila memang ‘paksaan’ itu untuk hal-hal yang baik, sesungguhnya bisa jadi ini adalah cara Allah mendidik kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Bukankah tujuan dari ibadah itu pada akhirnya adalah agar kita la'allakum tattaqun?
Salam dari Palembang Darussalam.
08 April 2015
Mgs Armansyah Sutan Sampono Azmatkhan, S.Kom, M.Pd
Original Posted : Facebook
No comments:
Post a Comment