
Alkisah sampailah Hatim pada persinggahannya di salah satu kota dimana disana hidup ulama terkenal bernama Muhammad ibn Muqatil. Tertarik untuk berkenalan dengan sang ulama, Hatim kemudian berkunjung ke kediaman sang ulama. Ternyata rumahnya megah, luas dan indah. Hatim tercenung. Dia menemukan sang ulama tidur dikamar yang sangat mewah. Seorang pelayan selalu siap untuk mengipasi kepalanya jika ia kepanasan. Hatim kemudian dipersilahkan duduk oleh sang ulama, namun Hatim menolak.
Muhammad ibn Muqatil lalu bertanya pada Hatim.
"Apa keperluan tuan kemari?"
"Tuan syaikh. Ada hal yang ingin saya tanyakan pada anda. Dari manakah tuan syaikh memperoleh ilmu ini semua?"
"Tentu saja dari orang-orang yang dapat saya percaya, mereka mendapat ilmunya dari para sahabat Nabi, kemudian sahabat itu mendapat ilmu dari Rasulullah, dan Rasulullah mendapat ilmunya dari Jibril dan Jibril dari Allah SWT wahay Hatim."
Hatim tersenyum lebar, kemudian berkata.
"Apakah dari guru-guru tuan syaikh itu, dari sahabat, dari Nabi, dari Jibril dan dari Allah tersebut tuan syaikh mendapat pelajaran supaya hidup mewah?"
Sesaat sang ulama terkesiap, tapi masih menjawab.
"Tentu tidak wahay Hatim. Bahkan mereka mengajari kami untuk hidup zuhud, mencintai akhirat, menyayangi orang miskin. Dengan itulah orang akan mendapatkan kedudukan tinggi disisi Allah SWT."
"Bila begitu tuan syaikh. Siapakah guru tuan ini sesungguhnya? Adakah mereka itu Nabi? para sahabat Nabi? orang-orang sholeh ataukah Fir'aun? atau juga Namrud yang mendirikan gedung bertahtakan pualam?" Sahut Hatim kemudian.
Syahdan sejak pertemuan dengan Hatim itu, Muhammad ibn Muqatil jatuh sakit. Penduduk kota itu yang mengetahui peristiwa itupun menjadi gempar kemudian mereka mendatangi Hatim yang kemudian didapati sedang berada didalam masjid.
Salah satu dari penduduk kota itu berkata pada Hatim.
"Wahay Hatim. Tuan datanglah ke kota Qazwin. disana juga ada seorang ulama yang senantiasa hidup bermewah-mewahan seperti ibn Muqatil. Namanya al-Thanafisi. Tuan berilah dia peringatan agar diapun sadar."
Tak lama kemudian, Hatimpun berangkat ke kota Qazwin dan menjumpai sang ulama. Kepada ulama itu, Hatim minta diajarkan cara berwudhu yang benar sesuai sunnah Rasulullah.
"Tuan Syaikh. Saya akan berwudhu dihadapan tuan. Mohon perbaiki cara berwudhu saya bila tuan mendapatkan saya menyelisihi sunnah Rasulullah dalam melakukannya."
Hatimpun mulai mengambil air kemukanya, membasuh tangannya 4x terus hingga sampai ke mata kaki, juga 4x. Sang ulama kemudian mengatakan pada Hatim.
"Wahay anak muda. Engkau telah bersikap berlebih-lebihan. Engkau menyelisihi sunnah Rasulullah dalam hal berwudhu. Engkau telah membasuh semua anggota tubuhmu itu sebanyak 4x".
"Subhanallah,." kata Hatim. "Setapak air ini tuan syaikh anggap berlebihan dan telah menyelisihi sunnah Rasulullah. Sekarang tuan syaikh bandingkan dengan seluruh kemewahan yang telah tuan syaikh miliki dan nikmati ini dengan contoh yang telah tuan dapatkan dari Rasulullah. Apakah ini tidak berlebih-lebihan menurut antum, wahay tuan syaikh?"
Al-Thanafisi tidak dapat menjawab. Selanjutnya alkisah semenjak peristiwa itu, sang ulama tidak pernah keluar dari rumahnya selama 40 hari karena malu dan iapun sadar terhadap tindakannya selama ini yang telah berlebih-lebihan dalam hidup.
Kepiawaian Hatim inipun sempat mengundang decak kagum dari Imam Ahmad ibn Hambal, salah seorang perawi hadist terkenal. Hatim, seorang penuntut ilmu yang tidak silau dengan kepandaiannya. Tapi sebaliknya dengan ilmu yang ia miliki, Hatim membetulkan ulama yang telah khilaf dari jalan Allah. Dia mengingatkan para ulama yang begitu sensitif membincangkan masalah cara berwudhu tapi tidak peka terhadap persoalan kemasyarakatan.
Inilah sedikit kisah tentang Hatim, bukan Hatim sang pangeran Yaman yang terkenal dengan pedangnya yang sakti itu, tapi inilah cerita tentang Abu Abdurrahman Hatim al-Asham, murid dari Syaqiq al-Balkhi yang hidup satu jaman dengan Imam Ahmad ibn Hambal.
No comments:
Post a Comment